24

61 12 0
                                    

Panacea berjalan menuju kelasnya dengan perasaan sedih. Bibirnya melengkung ke bawah dengan tubuh lemas. Dia kehilangan keceriaannya setelah mendengar pernyataan dari perempuan yang membuatnya tertarik beberapa minggu yang lalu.

Apa salahnya jatuh cinta? Apakah salah dirinya jatuh cinta? Mengapa kata 'cinta' seolah-olah membuat perempuan itu selalu muak? Ada apa sebenarnya dengan Lakuna Ashalata? Mengapa dia sebegitu bencinya dengan cinta.

Panacea menghela napas kemudian mengacak-acak rambutnya frustasi. Mungkin dia terlihat stress namun di mata siswi yang berlalu lalang, laki-laki itu terlihat semakin tampan ditambah wajah imutnya yang menggemaskan.

Akhirnya, sampailah dirinya di depan pintu kelasnya yang sedang tertutup rapat. Perlahan, dia membukanya dan seperti biasa disambut uang berterbangan dimana-mana. Melangkah masuk, menuju bangku miliknya yang sebelahnya sudah diduduki oleh temannya.

"Kenapa lo?" tanya temannya saat Panacea sudah duduk.

Panacea sedikit memajukan bibirnya.

"Aku ditolak lagi."

Temannya yang bernama Eral dengan ciri khas rambut panjang diikat itu menahan tawanya yang sudah siap menyembur kapan saja.

"Kan gue udah bilang, gebetan lo itu orangnya anti cinta. Dia gak kayak cewek lain yang cuma lo kasih tampang imut aja udah pingsan. Dia tipikal orang yang mungkin mikir kalau jatuh cinta itu buang-buang waktu," ujar Eral semakin membuat Panacea kesal.

Panacea mendengus. "Jadi, harus gimana? Apa aku harus kasih dia duit?"

Eral terkekeh.

"Gue yakin banget tuh duit bakal melayang ke muka lo."

"Ish!" Panacea menatap Eral. "Bukanya kamu punya pacar banyak, ya? Kasih tips, dong!"

Eral menggelengkan kepala.

"Tips gue gak bakal buat gebetan lo luluh. Dia termasuk kategori cewek yang hampir punah alias langka. Gue saranin, mending lo nyerah aja."

"Gak bisa gitu! Dia udah jauh-jauh hari aku klaim!"

Eral menepuk bahu Panacea pelan. Dia tersenyum kemudian berkata, "Udah, lo nyerah aja. Lo bocah gak cocok sama dia. Lagipula, kalian beda umur. Ntar, kalau kalian pacaran, jatuhnya tuh cewek pedofil."

Panacea memukul tangan Eral yang semakin lama semakin keras menepuk.

"Cinta gak pandang umur," katanya keras kepala.

"Kalian beda kasta. Sadar dirilah," ujar Eral tak mau kalah.

"Cinta gak pandang kasta."

"Kalian beda rasa. Lo cinta dia, dia nggak. Terima saja kenyataan, bocah."

"Nanti dia bakal cinta aku, kok."

"Kalau nggak gimana?" tany Eral yang mulai jengkel.

"Kalau nggak, ya, harus. Aku gak mau tahu itu. Aku bakal berusaha buat dia cinta sama aku."

Lagi, Eral menggeleng kepala tak percaya dengan ucapan Panacea. Satu kata menggambarkan laki-laki itu adalah gila.

"Pantes aja tuh cewek suka nolak lo. Lah, lo aja kayak gini," kata Eral membuat Panacea mengernyit bingung.

"Emang aku kenapa?"

"Sinting."

"Aku sinting? Tapi, kata Asha, aku orangnya berisik, bodoh, dan merepotkan."

"Asha?" Eral bertanya, sebelum kemudian tersenyum menggoda. "Udah ada panggilan sayang, kah?"

"Belum jadian." Bibir Panacea kembali melengkung ke bawah.

Ruang KosongWhere stories live. Discover now