28

56 10 0
                                    

Lakuna pikir ketika urusannya dengan Panacea selesai, hidupnya akan tenang dan damai. Ternyata tidak. Pemikiran-pemikiran dimana dia akan menjadi tokoh sampingan, sirna begitu saja dari kepalanya. Perempuan itu sedang berjalan menuju perpustakaan dan selama perjalanan, dia sudah seperti artis yang datang bertamu ke sekolah ini.

Mereka semua menatapnya!

Lakuna tidak menyukai itu. Dia seperti diintimidasi oleh tatapan mereka. Seperti ingin menerkamnya, memakannya habis tak tersisa.

Tiba-tiba dia gugup. Jadi, begini rasanya menjadi pusat perhatian? Menjadi seseorang yang mencolok? Diam-diam Lakuna terkekeh. Menjadi tokoh utama memang tidak cocok untuknya. Ditatap satu pasang mata saja sudah membuatnya risih.

Lakuna menundukkan kepala walau sepasang matanya kadang-kadang melirik sekitarnya. Tidak lama kemudian, dia akhirnya sampai di depan pintu perpustakaan. Perempuan itu menghela napas sebelum salah satu tangannya mendorong pintu. Dia melangkahkan kakinya masuk ke dalam dengan perasaan lega. Tidak cukup semenit dia lega, kejadian di luar perpustakaan ternyata juga terjadi di dalam perpustakaan. Penghuni bangunan itu kompak menatap dirinya dengan tatapan berbeda. Dapat Lakuna dengar, suara bisikan berisi tentangnya.

Sontak, Lakuna meringis pelan. Seketika dia menyesali perbuatannya beberapa jam yang lalu. Seharusnya dia menarik laki-laki kurang ajar itu ke taman belakang, bukanya berdiri di tengah-tengah lapangan sekolah. Kadang-kadang, pemikiran Lakuna tidak selalu lurus, ya.

Dengan senyum tipis, perempuan itu berjalan ke salah satu rak buku, mencari buku yang ia inginkan. Setelah menemukannya, dia duduk di salah satu kursi yang terletak di sudut kanan. Semua gerakannya tak luput dari mata mereka semua.

"Jangan berisik. Tolong bedakan mana perpustakaan, mana pasar," ujar Lakuna terganggu dengan suara bisikan mereka yang semakin lama semakin keras.

Bukanya hening, suasana menjadi kacau dengan suara protes dari mereka. Banyak yang tidak menyukai sikap tegas Lakuna yang kesannya belagu.

"Dari gedung kalangan bawah aja belagu. Udah ngerasa seleb banget dia abis nolak cowok populer."

Sebuah rentetan kalimat yang mengundang komentar pedas dari yang lain.

"Kalau gue, pasti bakal terima ajakan pacaran dari cowok itu. Sok jual mahal jadi cewek."

"Padahal tuh cowok udah paket komplit. Pasti dia udah ngerasa sempurna banget, wkwk."

"Secakep apa, sih, tuh cewek?"

"Kasian, Kak Panacea. Pasti dia nyesel karena jatuh cinta sama tuh cewek."

"Emang siapa yang nyuruh dia jatuh cinta sama saya? Gak ada 'kan?" tanya Lakuna menghentikan bisikan itu. Kedua matanya menyorot dingin ke arah mereka semua yang kini menutup rapat bibirnya.

"Dia jatuh cinta, bukan urusan saya. Jangan paksa saya untuk bertanggung jawab hanya karena ketidaksengajaan dia. Kalian bilang seperti itu, karena fisik dan materi dia kan? Karena dia ganteng, dia kaya, makanya kalian ngomong nyesel-nyesel, gitu. Tolong, kalau kalian tidak tahu apa-apa, lebih baik diam. Saya sudah cukup sadar diri di sini."

Lakuna berdiri. Mood-nya hancur seketika. Padahal awalnya dia ingin menenangkan pikiran di perpustakaan, namun, kenyataannya berbanding terbalik. Perempuan itu beranjak menyimpan buku lalu keluar dari perpustakaan.

Sekarang, tempat mana lagi yang harus dia datangi? Tempat yang sepi dan membuatnya tenang. Di taman? Lakuna menggeleng pelan. Tidak, tempat itu adalah tempat keramat.

Bagaimana dengan atap sekolah? Lakuna memutuskan ke tempat itu. Kehadirannya masih menjadi pusat perhatian yang lain. Namun, sekarang perempuan itu sudah tidak peduli. Memikirkan tanggapan mereka membuat kepalanya sakit.

Ruang KosongWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu