06

90 22 9
                                    

Lakuna POV

Helaan napas terus ke luar dari mulutku. Terhitung sudah enam kali sejak aku berangkat ke sekolah. Aku terus menggerutu kesal karena luka yang kudapatkan dari insiden kecelakaan membutuhkan seminggu agar benar-benar sembuh total. Bisa dianggap, aku ketinggalan pelajaran selama seminggu. Untung saja aku sudah memberitahu wali kelas ku.

Di sinilah aku, berjalan tegap menyusuri lorong sekolah. Siswa maupun siswi berlalu lalang sibuk dengan dunia mereka sendiri. Belum banyak penghuni yang datang. Mungkin yang datang awal adalah orang yang memiliki jadwal piket hari ini, atau sekedar ada urusan lain. Mataku menatap lurus ke depan tanpa menoleh kanan kiri. Namun, aku masih bisa melihat jelas beberapa dari mereka menatapku keheranan. Bisa dibilang, aku bukan seseorang yang famous di sekolah ini. Hanya segelintir orang yang mengenalku. Lebih tepatnya, orang-orang yang pernah berurusan denganku. Sisanya hanya orang asing.

Wajah datar menjadi ciri khas ku setiap berhadapan dengan orang lain. Jangan kalian kira, aku orang yang berbeda dengan yang di rumah. Tidak! Aku adalah orang yang sama. Aku bukan orang yang punya masalah lalu menghibur dengan sifat ceria.

Hohoho! Aku bukan badut seperti yang lain. Aku tidak perlu bersusah payah menghibur orang lain agar terlihat paling bahagia. Aku ya aku, untuk apa jadi orang lain?

Ngomong-ngomong tentang badut, aku mengenal seseorang yang setiap hari tertawa seolah-olah tanpa beban. Padahal, dia termasuk orang yang paling memprihatinkan.

Mau tahu siapa? Sebentar lagi, dia akan muncul.

Aku berjalan terus menuju kelasku. Tas berwarna hitam kini bertengger di belakang punggungku. Walaupun sikapku dingin, aku selalu ingin terlihat biasa saja. Bisa di bilang, aku memilih me-rakyat. Aku tidak suka berorganisasi atau bahkan memiliki sebuah jabatan. Itu bisa membuatku terlalu mencolok dan aku sangat tidak suka itu.

"Heyyy bestieee!" teriakan melengking terdengar dari arah belakang. Aku sontak mendengus. Dari suaranya saja sudah sangat familiar di telingaku.

Bukanya berhenti, aku memilih tetap berjalan. Menghiraukan teriakan-teriakan yang mengundang tatapan dari penghuni lain. Sudah kubilang aku tidak ingin mencolok!

"Bestieeee!!"

Aku membuang napas kasar kala sebuah tangan melingkar di pundakku. Aku berhenti lalu menoleh menatap orang yang berdiri di sampingku.

"Apa?!" tanyaku ketus.

Orang itu malah berdecih. "Baru pagi udah sensian lo! Ntar lo cepat tua terus ninggalin gue sendirian."

"Najis!"

Musfira---nama orang itu. Perempuan yang seumuran denganku memiliki sikap ceria dan sering tertawa. Kadang, aku menganggapnya gila karena hal receh pun, ia akan tertawakan. Dia sahabatku dari sebelum kami memasuki Sekolah Dasar. Dulu, kami tetanggaan namun berubah ketika ia dan keluarganya pindah rumah. Jadi, kalau ingin bertemu cuma bisa di sekolah.

Musfira tertawa. "Gimana sama keadaan lo? Jujur, pas gue denger lo kecelakaan, gue gak khawatir. Cuma panik aja. Gue pikir lo bakal mati terus reinkarnasi ke dunia lain kayak cerita-cerita yang pernah gue baca. Lo bakal jadi Antagonist."

"Kasian ... korban wattpad!" aku Lakuna mengejek.

Aku melihat, bibirnya mengerucut. Benar-benar menjijikkan. Ku pikir, diriku benar-benar hebat karena mampu bertahan bersamanya.

"Gak baik kayak gitu sama bestie!" ujarnya menampilkan mimik sedih. Nih orang kebanyakan drama, deh.

Aku memutar bola mataku malas. Dengan sekali hentakan, aku melepaskan diri lalu pergi meninggalkan dirinya sendirian yang sedang mengamuk. Ku dengar ada suara kaki berlari.

Ruang KosongWhere stories live. Discover now