33

51 8 16
                                    

Waktu terasa berhenti. Lakuna tertegun dengan napas tertahan ketika matanya menatap tubuh yang kini terpental jauh akibat tabrakan dari sebuah truk. Rasa sakit dari telapak tangan dan lututnya tak ia pedulikan karena sekarang titik fokusnya hanya pada tubuh yang tergeletak di atas tanah dengan bersimbah darah.

Jantungnya berdetak pelan. Rasa sakit mulai menyerang seluruh tubuhnya seolah banyak jarum yang menusuknya. Dia ingin berdiri tapi seolah-olah dirinya lumpuh tak mampu berdiri. Bergerak sedikit pun, tak bisa.

Truk sendiri menabrak sebuah warung warga yang tinggal disekitar tempat itu. Perlahan, satu persatu manusia berbeda umur berlari menghampiri dirinya atau tubuh yang sudak tak bergerak di sana.

"Nak, kamu baik-baik aja?"

"Apa dia masih hidup?" Lakuna bertanya dengan suara bergetar. Kedua matanya tak beralih sedikit pun dari pemilik tubuh yang sedang dikerumuni oleh banyak manusia.

"Kami tid---"

"APA DIA MASIH HIDUP?!" bentak Lakuna. Tubuhnya bergetar hebat karena ketakutan.

Semua terkejut mendengar suara Lakuna. Bukankah perempuan itu harus khawatir dengan dirinya sendiri? Darah di tangan dan lututnya tak berhenti mengeluarkan darah. Apa perempuan itu tidak merasakan sakit dari lukanya? Ayolah, itu sangat perih!

"K-kami t-tida---"

"Tolong periksa. Apakah dia masih hidup," lirih Lakuna. Benar-benar sesak di dada bahkan kedua matanya sudah merah.

Seorang pria kemudian menatap ke arah kerumunan di sana.

"APA DIA MASIH HID---"

"SIAPAPUN! TOLONG HUBUNGI AMBULANS! JANTUNGNYA SUDAH TAK BERDETAK!"

Bagaikan sebuah batu menghantam keras tubuhnya, bagaikan petir di siang bolong menyambar Lakuna yang seketika itu langsung terdiam mematung. Seolah jantungnya berhenti berdetak serta napasnya sudah tak menghembuskan, dia kehilangan hidupnya.

Hancur, itulah yang terjadi pada Lakuna ketika mendengar sebuah fakta yang tak pernah ia ingin dengar. Kematian ... mati ... tak bernafas ... pergi selamanya ... Lakuna takut mendengar semua kata itu. Hatinya hancur berkeping-keping seperti gelas yang terpecah belah.

"Tidak mungkin," cicit Lakuna masih menatap tubuh Panacea yang sedang di pangku oleh seorang laki-laki. Mimik wajahnya seperti tidak percaya, seolah kehilangan sesuatu yang sangat berharga di dalam hidupnya. Laki-laki itu bahkan sudah menangis histeris sambil memanggil nama Panacea.

"Dia benar-benar pergi?" Lakuna berbisik. Kedua telinganya mendengar jeritan pilu dari laki-laki itu.

Mata Lakuna mulai berkaca-kaca. Apa yang salah dengan dirinya? Kenapa semua orang malah meninggalkan dia? Kakek, Musfira, dan sekarang Panacea. Apa Tuhan tidak ingin melihatnya bahagia? Apa ini adalah hukuman atau cobaan? Kenapa?!

Yang awalnya hanya berkaca-kaca, malah tergantikan dengan air mata yang mengalir deras sampai membasahi pipi. Tak ada suara, hanya rasa sakit yang terus mengayat hatinya.

"Kamu anak pembawa sial!"

Jadi, dia memang pembawa sial? Lakuna terkekeh ketika kalimat itu kembali masuk ke dalam pikirannya. Pantas saja!

"Nak, ayo berdiri. Obati luka kamu!"

Lakuna mendongak. "Apa saya pembawa sial?" tanyanya kepada semua orang yang sedang mengelilinginya.

"Apa maksud kamu, Nak? Tidak ada manusia pembawa sial," jawab seorang ibu-ibu ber-daster.

Lakuna kemudian menunjuk kerumunan Panacea.

Ruang KosongWhere stories live. Discover now