Bab 1. Menyingkirkan Mantan

200 33 26
                                    

"Aku harap Kakak segera sadar diri dan mau berhenti," ujar Adistia sembari melirik Bisma yang kini tengah fokus pada kemudinya. Berharap laki-laki yang pernah menjadi kekasih di masa lalu ini paham maksud perkataannya tanpa harus dijelaskan.

"Kakak harusnya juga tahu, memperjuangkan sesuatu yang hasilnya udah dipastikan gagal itu sangat percuma," kata Adistia lagi saat kalimat pertamanya tidak mendapat respon. Entah karena lawan bicaranya terlalu fokus pada jalanan, atau memang berniat untuk tidak menjawab.

Helaan lirih terdengar dari bibir Bisma. Laki-laki dengan kaca mata minus itu sempat melirik ke arah Adistia sejenak, gadis itu kini tengah menatap lurus ke depan dengan wajah ditekuk sempurna. Tidak ada senyuman yang tampak seperti dulu, ekspresi ini sudah dilihatnya beberapa hari terakhir semenjak dia terus menganggu hari-hari yang Adistia lalui.

"Gimana aku bisa tahu hasilnya kalau aku nggak mencoba berjuang?" ujar Bisma pada akhirnya. Sesekali melirik ke arah spion mobil dan memfokuskan pandang ke jalanan padat di depannya. Hari libur membuat jalan di siang hari yang biasa lancar menjadi sedikit macet.

"Tapi aku udah tegaskan nggak akan ada lagi kesempatan buat kita!" tegas Adistia sembari menatap wajah Bisma dari samping. Gadis yang membiarkan rambut sepunggungnya digerai itu mengembus napas kesal sembari bersedekap, lalu kembali berujar, "Kita udah putus, dan udah aku bilang dari hari itu kalau lebih baik kita nggak pernah berhubungan lagi."

"Tapi waktu itu aku nggak bilang setuju, kamu yang ngambil keputusan sendiri," sahut Bisma sabar.

Terdengar dengkusan sinis dari bibir Adistia saat mendengar kalimat yang Bisma katakan. "Kakak selingkuh, dan aku minta putus, apa itu perlu disepakati?"

"Aku nggak selingkuh!" Bisma berteriak tertahan, emosi yang sejak tadi teredam dengan baik mulai tersulut karena laki-laki berkulit sawo matang itu tidak pernah merasa melakukan apa yang Adistia tuduhkan.

"Oh, ya?" Bibir tipis Adistia tersenyum miring. "Lalu yang terjadi dulu itu apa?"

"Aku udah berkali-kali jelasin, kan? Kalau antara aku dan Adel itu nggak ada hubungan apa-apa. Tapi apa kamu pernah percaya?"

Tentu saja enggak! Adistia berteriak dalam hati, mulai enggan membahas hal yang membuatnya kesal setiap kali mengingat kejadian dulu. Bisma yang lupa menjemputnya di tempat yang sudah mereka sepakati, hingga nyaris membuatnya diperkosa oleh preman. Beruntung ada orang yang menolong karena kalau tidak, entah apa yang terjadi padanya kala itu.

Andai saja hari itu Bisma langsung menghubunginya dan meminta maaf, serta memberi alasan yang tepat kenapa mengingkari janji, mungkin Adistia bisa memaafkan. Namun yang terjadi, laki-laki itu baru menghubunginya beberapa hari kemudian dan memberi alasan lupa untuk janji yang tidak ditepati. Bersamaan dengan itu Adistia juga mendengar kabar dari teman Bisma jika sebenarnya laki-laki itu pergi bersama Adelia, seorang adik senior yang Adistia tahu sangat tergila-gila dengan Bisma kala itu.

"Waktu itu aku cuman bantu Adel buat ngerjain skripsinya yang keteter, nggak lebih." Alasan yang selalu Bisma buat untuk menutupi kesalahannya. Adistia yang mendengarnya hanya diam, sudah bosan mendengar alasan sama.

"Aku tahu salah, tapi tolong kasih kesempatan satu kali lagi untuk memperbaiki semuanya, Dis." Bisma membelokkan mobilnya saat tempat yang Adistia tuju sudah terlihat.

"Kepercayaan buatku nomor satu, Kak. Kalau itu sudah dikhianati, nggak akan pernah ada kesempatan kedua. Jadi sekali lagi aku tegaskan, lebih baik Kakak mundur," ujar Adistia pelan, tetapi setiap kata penuh dengan penekanan. Gadis yang hari ini tampil terlalu sederhana hanya dengan kaos dan celana jins selutut itu langsung turun saat mobil sudah terparkir sempurna. Bahkan demi membuat Bisma malas melihat wajahnya, Adistia sama sekali tidak memoleskan make up.

Adistia pikir Bisma akan mendengarkannya, tetapi laki-laki itu malah ikut turun dan mengekori langkahnya. Adistia berusaha untuk tidak peduli, melangkah masuk ke pusat grosir bahan-bahan untuk membuat kue.

Minggu ini pesanan kue yang masuk melalui online dan offline cukup lumayan. Lovely Bakery, nama usaha kue yang sedang digelutinya Adistia yakin tahun depan akan bisa membuka toko fisik, tidak seperti sekarang yang baru berjalan secara online saja.

"Halo, Del!" Telinga Adistia sempat menangkap sapaan itu dari belakangnya, dan saat menoleh, sosok Bisma tampak berjalan menjauh dengan ponsel yang ditempelkan di telinga. Gadis itu hanya bisa tersenyum miring, bahkan nyatanya sampai sekarang hubungan Bisma dan Adelia masih berlanjut.

Entah apa nama hubungan keduanya, yang jelas hal ini membuktikan jika dia memberi Bisma kesempatan, maka permasalahan sama yang dulu pernah terjadi akan kembali terulang. Jadi, Adistia merasa keputusannya untuk tidak lagi memberi Bisma kesempatan itu sudah sangat tepat. Lebih baik mereka menjalani kehidupan masing-masing tanpa menganggu satu sama lain.

*

"Yah, please, aku nggak mau dijodohin sama Bisma," rengek Adistia pada ayahnya saat malam tiba. Gadis itu bertekad hari ini juga harus menyelesaikan perjodohan yang ayahnya buat ini.

"Memangnya kenapa? Bukankah beberapa hari ini kalian terlihat baik-baik saja?" Gunardi yang menyuruh Bisma untuk meluangkan waktu demi bisa merebut hati putrinya. Menurut ayah dari tiga anak itu, Bisma adalah pribadi yang baik, sosok tepat untuk mendampingi Adistia yang seharusnya sudah menikah dan memiliki anak di usia 28 tahun.

"Aku nggak pernah setuju dari awal, tapi Ayah yang maksa buat kasih dia kesempatan. Dan hasilnya sesuai prediksi, aku, Yah. Aku nggak bisa lanjut hubungan serius sama Bisma." Adistia sangat berharap ayahnya mau mengikuti permintaannya. Ini semua demi kebahagiaannya bukan? Jadi bukankah dia berhak memutuskan?

"Yang sebaik itu kamu tolak, lalu maunya yang bagaimana? Ayah kenal betul Bisma karena dia salah satu mahasiswa Ayah dulu." Gunardi menatap putrinya dari balik kaca mata baca yang kini dikenakan.

"Aku kenal Bisma lebih baik dari Ayah karena dulu kita pernah deket. Dan aku sangat yakin kalau kami nggak cocok sama sekali."

"Dari segi mana tidak cocoknya?" Gunardi melepas kaca mata bacanya untuk bisa melihat ekspresi yang Adistia tunjukkan lebih jelas. "Dia itu sabar, sangat pas untuk menghadapi kamu yang manja dan bebal."

Adistia berdecak malas, "Pokoknya kita nggak cocok, titik." Menjelaskan apa yang menjadi alasannya juga terasa percuma. Sudut pandang dirinya dengan sang ayah pasti berbeda. Saat Adistia merasa kesalahan yang Bisma lakukan dulu fatal, bisa jadi berbeda dengan ayahnya yang hanya akan menganggap apa yang dulu Bisma lakukan itu sepele.

"Kalau begitu Ayah cuman bisa ngasih pilihan lain ke kamu kalau nolak perjodohan ini," ujar Gunardi santai, sementara tanggapan Adistia tidak sesantai itu. Alasan lain yang ayahnya ucapkan ini sepertinya lebih horor dari perjodohan.

"Apa?" tanya gadis itu dengan ekspresi waspada.

"Tinggal sama masmu di Jogja, dan lanjut kuliah S2."

"Ayah," ujar Adistia dengan nada protes, "nggak bisa gitu dong."

"Bisa, Ayah tinggal telpon Mas Yuda buat jemput kamu dan urus semuanya."

"Gimana kalau aku udah punya kandidat lain?" Adistia mencoba tenang, pemikiran kacaunya hanya bisa memikirkan kalimat itu.

"Maksud kandidat lain?"

"Aku udah punya pacar," ujar gadis dengan wajah oval itu penuh percaya diri. Berharap ayahnya tidak menangkap kebohongan dari sorot matanya.

"Oh, ya?" Adistia mengangguk mantab, berusaha tenang.

"Kalau begitu kenalin ke Ayah minggu depan," ujar Gunardi dengan senyuman, lalu laki-laki itu bangkit dari kursinya, meninggalkan sang putri yang tampak kebingungan karena ulahnya sendiri.

Minggu depan? Tuhan, bagaimana caranya mencari pacar dalam waktu satu minggu?

Mr. COFFEE and Miss COOKIETahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon