Bab 25. Tampak kacau

65 17 20
                                    

Sudah berlalu dua hari semenjak kejadian itu, tetapi entah mengapa Adistia tidak juga bisa lepas dari bayang-bayang Evans yang tengah menciumnya. Ah, bukan mencium, tolong ingat jika masih ada jari sebagai penghalang di sana.

Adistia sendiri juga bingung kenapa dirinya bisa menjadi berlebihan seperti ini. Padahal saat berpacaran dengan Bisma dulu, dia juga bukan gadis polos yang tidak pernah merasakan berciuman. Namun, entah mengapa kali ini rasanya berbeda. Apakah ini tanda jika hatinya sudah terperosok jauh ke dalam pesona Evans? Sehingga hal yang seharusnya tidak istimewa bisa menjadi sangat bermakna sehingga terus saja terngiang dalam pikiran.

"Lo kenapa, sih? Kusut banget gitu?" Namira yang baru saja datang langsung menarik satu kursi di hadapan Adistia. Seperti biasa, mereka duduk di salah satu kafe. Bukan tanpa alasan keduanya sering menjadikan tempat ini sebagi tempat nongkrong. Selain karena tempatnya tenang dan jauh dari suara bising, juga karena menu makanan yang ditawarkan cocok di lidah mereka.

"Nggak papa." Adistia yang sejak tadi menopang kepalanya dengan satu tangan langsung menegakkan tubuh, meminum langsung lemontea-nya yang tinggal setengah hingga habis.

Sementara Namira yang tidak percaya dengan jawaban itu mencoba menelisik wajah sang sahabat sembari memanggil pelayan untuk memesan minuman serta camilan untuk mengobrol.

"Cepetan cerita!" tuntut Namira setelah pelayan kafe pergi untuk menyiapkan pesanannya.

Adistia menggerakkan matanya untuk menatap wajah Namira yang kini terfokus ke arahnya. "Kalau gue cerita lo jangan bilang gue konyol, ya."

Namira mengangguk yakin, tidak bisa menebak apa kiranya hal yang bisa membuat Adistia seperti ini. Setelah mengambil napas panjang sekali, Adistia pun langsung menceritakan apa yang terjadi dua hari yang lalu.

Awalnya Namira hanya mengerjab, tetapi detik selanjutnya tawa gadis dengan rambut ikal sebahu itu pecah. Bahkan Adistia sampai harus bangkit dari kursinya, mendekat ke arah Namira, dan membekap mulut gadis itu karena kini mereka menjadi tontonan umum pelanggan lain.

"Adis, ih!" Namira mencoba melepas tangan Adistia, tidak bisa menahan diri untuk melanjutkan tawanya. "Gue bisa bayangin muka cengo lo kaya apa, Dis," lanjutnya sembari mengusap air yang keluar dari sudut matanya.

Adistia yang sudah bisa menebak reaksi Namira akan seperti ini memilih kembali duduk. Mengunyah es batu yang tersisa di gelasnya.

"Oke, sorry, sorry." Namira merapatkan bibir untuk menahan tawanya kembali hadir. Lalu benar-benar berhenti saat pesananannya datang. Mendorong satu gelas jus alpukat yang dipesan untuk Adistia tadi, gadis itu lalu membasahi tenggorakannya sendiri dengan jus mangga.

"Terus gimana abis itu?" Namira mengunyah kentang gorengnya yang sudah dilumuri saus. Mengabaikan steak sapi yang ada di piring. Lebih tertarik dengan cerita yang dialami sahabatnya.

"Ya gitu, gue langsung pamit." Adistia kembali teringat tingkahnya hari itu. Dan sebenarnya sedikit kesal karena sejak saat itu, hingga hari ini Evans tidak juga menghubunginya.

Namira kembali mengeluarkan kekeh kecil. "Terus Evansnya?"

"Dia sempet minta maaf, tapi abis gue pergi ya udah, nggak pernah hubungin lagi." Adistia memberengut dengan wajah kecewa.

"Brengsek banget," celetuk Namira. Ikut merasakan kecewa yang kini Adistia rasakan.

"Jangan asal ngomong kenapa? Siapa tahu dia sibuk." Kalimat itu sebenarnya hanya sebentuk penghiburan untuk hatinya yang kecewa. Dan lagi Adistia juga sedikit tidak terima dengan kata brengsek yang Namira ucapkan untuk Evans.

Namira yang mulai membaca ada gelagat aneh di mata Adistia tersenyum penuh misteri. "Kayaknya ada yang gue lewatkan."

Adistia yang sedang menyedot jus alpukatnya mengangkat alis karena tidak paham.

"Lo beneran suka sama dia?" Namira langsung yakin jika tebakannya tepat sasaran. Apalagi saat melihat Adistia yang nyaris tersedak jusnya. Selama beberapa waktu ini mereka memang jarang bertemu karena pekerjaannya yang padat. Juga Adistia yang selalu sibuk sendiri dengan kesepakatannya bersama Evans. Jadi Namira baru menyadari jika sahabatnya ini sangat tertarik pada laki-laki itu, bukan hanya sekadar suka biasa.

Adistia memilih mengedikkan bahu, enggan menjawab pertanyaan itu.

"Kalau emang iya, gue sih dukung-dukung aja. Cuman satu yang gue minta, jangan terlalu bucin." Namira sangat mengenal Adistia, gadis ini paling tidak bisa menutupi perasaannya.

Apalagi Evans ini termasuk laki-laki spesial yang tidak diduga akan ditemui. Mengingat cerita Arman tentang Evans yang tidak mau membuka hati lagi selepas istrinya meninggal, entah mengapa gadis itu mulai khawatir dengan nasib Adistia jika terlalu berharap pada Evans.

Adistia mengangguk meski tidak tahu ke depannya nanti akan seperti apa. Di tengah hening yang menyela karena Namira sedang menikmati makanannya, ponsel Adistia berdenting, menunjukkan satu notifikasi pesan yang masuk. Saat itu juga bibir itu tersenyum, ada debar hangat yang menelusup saat membaca satu deret pesan itu terkirim dari orang yang baru saja menjadi topik obrolannya dengan Namira.

*

Evans tampak kacau dua hari ini, hal tersebut sangat disadari oleh Fadil yang sering berinteraksi dengan bosnya itu. Tidak hanya fokus yang terpecah, Evans juga terlihat sering gelisah, dan mata laki-laki itu terus saja tertuju pada ponsel.

'Adis, bisa datang ke kedai....'

Pesan pertama yang Evans ketik, tetapi segera laki-laki itu hapus saat merasa kalimat itu tidak pas. Dia seperti sosok bos yang sedang memerintahkan pegawainya untuk segera datang. Dan Evans sadar jika selama ini sikapnya sering seperti itu. Namun kenapa Adistia tidak terlihat terganggu oleh sikapnya yang seharusnya membuat tersinggung?

Evans kembali mengetikkan sesuatu di ponselnya, tetapi kembali dihapus. Hal itu terjadi sampai beberapa kali, dan akhirnya Evans menyerah. Meletakkan ponselnya di atas bar, laki-laki itu lalu mengacak rambutnya frustasi.

"Coba ngopi dulu, Mas. Kayaknya pusing banget." Fadil menyodorkan segelas es kopi untuk Evans.

"Thanks, Dil." Evans langsung menenggak es kopinya. Dan kembali membuka ruang obrolan pesannya dengan nomor Adistia.

"Ngomong-ngomong, Adis nggak keliatan dua hari ini?" Fadil menanyakan hal itu sembari mengelap meja panjang di depannya. Pengunjung sedang tidak terlalu ramai.

"Mungkin sibuk," jawab Evans sembari menatap foto profil yang Adistia pasang di whatsApp-nya. Hanya melihat senyum di foto itu saja bibir Evans bisa menarik sebuah senyuman.

Hal tersebut tidak lepas dari perhatian Fadil. Pemuda itu tidak tahu apa yang sedang Evans pandangi sejak tadi, tetapi entah mengapa dia yakin hal itu berhubungan dengan Adistia.

"Mas Evans bukannya ada rencana buat nambahin menu? Kenapa nggak coba masukin beberapa kue buatan Adis?" Perkataan itu sontak membuat kepala Evans terangkat, laki-laki itu meletakkan ponselnya dan terlihat foto Adis di layarnya. Diam-diam Fadil tersenyum karena ternyata memang benar, yang membuat bosnya kacau dua hari ini adalah karena gadis ini.

"Saran kamu oke juga, Dil." Evans tanpa berpikir panjang langsung mengetikkan pesan untuk Adistia. Sekarang dia memiliki alasan untuk menghubungi gadis itu. Senyum Evans seketika merekah saat pesannya terkirim, dan tidak lama mendapat balasan dari orang yang tanpa sadar dirindukannya selama dua hari ini.

Me : Dis, aku punya rencana kerja sama untuk usaha kita. Kira-kira kamu ada waktu buat ketemuan besok?

Adistia : Bisa, Mas. Besok aku ke kedai.

Mr. COFFEE and Miss COOKIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang