Bab 46. Khawatir

58 13 2
                                    

"Tinggal nunggu obat doang terus boleh pulang." Namira baru saja menyelesaikan administrasi dan kembali masuk ke ruang penanganan di mana Adistia kini tengah duduk setengah berbaring di tempat tidur. 

"Lo mending balik kantor aja. Gue beneran nggak papa kok. Entar bisa pesen taksi." Adistia menatap sang sahabat yang sejak tadi terus mengkhawatirkannya. 

Namira tahu tentang kecelakaan yang dialaminya karena melihat Adistia yang sedang dipapah orang-orang saat akan masuk ke dalam mobil tadi. Namira yang berniat pulang untuk mengambil berkas yang tertinggal menundanya dan memilih untuk menemani sang sahabat.

Namira tidak langsung menjawab, melainkan melirik arlojinya terlebih dulu. Tadi dia sudah sempat mengabarkan pada teman satu ruangannya jika akan sedikit terlambat kembali ke kantor. Akan tetapi benar kata Adistia, dia tidak bisa berlama-lama karena semua pekerjaannya bisa berantakan. 

"Beneran gue nggak papa, Mir." Adistia berusaha meyakinkan jika dirinya bisa pulang sendiri. Jarak klinik dan rumah tidak terlalu jauh. Dan lagi ada taksi online yang bisa dipesannya nanti. 

"Janji bakalan baik-baik aja!" Adistia mengangguk yakin, ada senyuman yang gadis itu tunjukkan. Bersyukur karena memiliki sahabat yang begitu perhatian dan juga memedulikannya seperti ini. 

Namira pun segera pergi setelah memastikan sekali lagi jika kondisi Adistia memang benar-benar tidak mengkhawatirkan. Hanya ada luka lecet di siku, serta kaki sebelah kanan yang sepertinya terkilir. Syok yang tadi dirasakan sudah sedikit berkurang. 

Selepas kepergian Namira Adistia hanya bisa diam sembari menunggu obatnya selesai dibuat. Sengaja tidak mengabari ayah atau pun bundanya karena takut kedua orang tua itu khawatir. Angan Adistia kembali pada mobil yang hampir mencelakainya tadi. 

Adistia sempat memberitahukan kecurigaannya pada Namira tentang pemilik mobil yang diduga adalah milik Berlian. Sepertinya memang benar Berlian yang akhir-akhir ini berniat mencelakainya. Apalagi jika mengingat cerita Bisma mengenai gadis yang menemui laki-laki itu, membuat keyakinan Adistia bertambah kuat.

Apa gadis itu masih dendam padanya? Karena dirasa sudah merebut Evans? Adistia menghela napas, merasa prihatin jika memang benar itu yang terjadi. Entah mengapa dia malah merasa kasihan pada Berlian yang sudah terperangkap dengan obsesinya itu. 

Berlian sangat menyedihkan, lebih menyedihkan dari dirinya yang ditolak Evans dengan cara halus. Hal yang tadi sempat membuat Namira emosi, karena menurut sahabatnya itu tindakan Berlian adalah aksi gila yang harus segera dilaporkan ke polisi. Tanpa Adistia tahu jika tadi Namira sempat meluapkan emosinya dengan menghubungi Evans. 

"Obat saya—" Adistia pikir perawat klinik yang masuk dan memberitahukan jika obatnya selesai disiapkan, tetapi malah sosok yang tidak terpikirkan oleh Adistia muncul di sana. Dengan raut khawatir dan napas yang seperti diburu oleh sesuatu, laki-laki itu langsung mendekat, lalu memeluknya. Entah mengapa Adistia seperti merasakan jika Evans menangis saat menarik tubuhnya ke dalam dekapan laki-laki itu. 

*

Evans menyetir mobil seperti orang yang sedang dikejar sesuatu. Dia yang biasanya sangat sabar, bahkan sampai memencet klakson berkali-kali setiap ada mobil yang menghalangi atau memperlambat jalannya. Jika ada yang mengajak ribut, sepertinya Evans siap meladeninya saat ini. 

Mr. COFFEE and Miss COOKIEΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα