Bab 33. Resah

72 10 0
                                    

Arman tersenyum miring saat melihat Adistia terus memperlihatkan wajah resahnya. Apalagi saat dengan sengaja laki-laki itu memperlihatkan siapa nama orang yang dipanggil. Dengan tatapan memohon, gadis itu berusaha menghentikan aksi konyol Arman yang berencana memanggil Evans untuk datang.

"Mir, lo kenapa diem aja, sih." Adistia sungguh kesal karena merasa dikerjai hari ini.

"Memang kenapa kalau dia dateng, kan biar lebih seru." Namira bukannya ingin mengerjai Adistia. Hanya saja dia sudah sepakat dengan Arman untuk mencoba menyatukan dua insan yang sebenarnya saling menyukai ini. Daripada melihat keduanya terus galau dan terlihat menyedihkan, bukankah tidak ada salahnya mencoba. Siapa tahu Evans bisa luluh pada akhirnya. Jika tidak, setidaknya Adistia sudah pernah mendapat peluang untuk memperjuangkan hatinya. Untuk masalah akhirnya akan bagaimana, mereka hanya akan menyerahkan pada Tuhan. Masing-masing tidak terlalu memikirkan dampak pada Adistia jika akhirnya hati Evans tidak juga luluh.

Adistia yang bertambah kesal dengan tingkah Namira yang terlihat santai sudah berniat pergi, tetapi sahabatnya itu dengan sengaja menahan,. "Nggak boleh ke mana-mana."

"Sialan nih orang, nggak diangkat juga," gerutu Arman kesal karena panggilannya tidak juga terjawab.

"Udah, deh, mendingan berhenti, orangnya pasti lagi sibuk." Adistia menatap kesal sepasang sejoli ini dan berharap keduanya tidak melanjutkan rencana yang sungguh konyol ini.

"Udah, lo diem aja," ujar Arman santai. Lalu kembali meneror ponsel Evans, yakin akan diangkat jika terus seperti itu. Bibir kehitaman laki-laki itu tersenyum saat panggilannya diangkat. Saapan malas Evans menyambutnya.

"Ada yang mau ketemu lo." Adistia menahan napas saat kalimat tersebut terucap dari bibir Arman, lalu berdecak kesal karena tunangan Namira itu seperti sangat menikmati kegelisahan yang kini dirasakannya.

Adistia memilih untuk mengalihkan kegugupan yang tiba-tiba hadir dengan menyeruput minumannya. Dalam benak membayangkan bagaimana sikap Evans nanti jika melihat dirinya ada di sini. Bagaimana jika laki-laki itu bersikap dingin? Atau malah terang-terangan menunjukkan rasa tidak suka?

Jujur saja meski gelisah, sebenarnya ada setitik harap Evans benar-benar akan datang. Sudah berapa lama mereka tidak bertemu dan Adistia sangat merindukan mata biru itu. Namun gadis itu juga takut jika nanti sikap Evans tidak akan ramah lagi terhadapnya. Takut serangan kecewa yang lebih dahsyat muncul dan kembali mengacaukan hatinya yang mulai membaik. Meski tidak benar-benar membaik setidaknya bayangan Evans sudah tidak lagi menyita konsentrasinya.

"Bakalan gue teror sampai dia beneran dateng." Celetukan Arman menyita fokus Adistia yang sempat teralih pada keributan yang kini menguasai kepalanya. Ditatapnya wajah Arman yang kini tampak menunjukkan senyuman miring dengan jemari sibuk mengetikkan sesuatu pada layar ponsel. Entah apa yang sebenarnya tengah dilakukan tunangan Namira itu saat ini.

"Mir, gimana kalau dia marah nanti pas lihat gue?" keluh Adistia pada Namira yang juga tengah sibuk dengan ponselnya. Gadis itu sedang membuka aplikasi sebuah marketplace.

"Nggak bakalan, tenang aja," ujar Namira santai masih dengan mata tertuju pada layar ponsel. "Tujuan kita itu baik kok," lanjutnya sembari melirik sepintas pada Adistia yang masih menunjukkan wajah gelisah.

"Baik di sisi mananya? Kalau nanti sikap dia nggak baik, lo mau tanggung jawab kalau gue kacau lagi dan berakhir nggak bisa ngerjain kue kayak kemarin-kemarin? Pesanan gue lagi banyak Mir." Adistia mendesah kesal, meski sebenarnya juga penasaran dengan apa yang Arman ucapkan tadi. Informasi yang mengatakan jika Evans juga sekacau dirinya karena perpisahan mereka. Benarkah seperti itu? Atau bagaimana jika ternyata Arman hanya salah paham? Evans kacau karena hal lain, rasanya sulit dipercaya jika laki-laki itu kacau karena dirinya.

Mr. COFFEE and Miss COOKIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang