Bab 35. Pengecut

62 12 0
                                    

Terima kasih yang masih mau nunggu cerita ini update. Happy reading .... :)

***

"Aku udah pesen ojek online." Tidak jelas sebenarnya untuk siapa kalimat itu Adistia tujukan. Namun karena menggunakan aku sebagai sebutan untuk memanggil diri, maka Evans yang bereaksi. Laki-laki yang sudah berniat bangkit itu mendadak diam, mendongak ke arah wajah Adistia yang berpaling ke arah lain.

Adistia yang melihat gerakan Evans untuk berdiri tertahan merasa kecewa, padahal hal tersebut akibat kebohongan yang dibuatnya sendiri. Dia belum memesan ojek online. Sengaja mengatakan kebohongan tersebut karena takut Evans keberatan dengan usul yang Arman berikan. Bagaimana jika sebenarnya Evans enggan mengantarkannya pulang, tetapi tidak enak hati untuk menolak? Maka di sini Adistia mencoba untuk tahu diri.

"Ya udah, gue duluan, ya." Kali ini mata Adistia menatap ke arah Arman dan Namira yang menunjukkan dua ekspresi. Arman dengan waah cueknya, tetapi tersirat sedikit gemas yang ditujukannya untuk Evans. Sementara Namira meringis tipis, seperti menyesal karena rencana yang sudah disusun malam ini tidak berakhir baik. Evans sendiri hanya diam, membuat Adistia yakin jika laki-laki itu tidak menyimpan perasaan apa pun padanya. Adistia meyakinkan hatinya jika apa yang Arman katakan sebelum laki-laki itu datang tidaklah benar. Sekali lagi, rasa kecewa itu menghantap perasaan Adistia.

Gadis yang malam ini mengikat asal rambutnya menjadi satu ke belakang itu terus melangkah tanpa berniat menoleh. Mengeluarkan gawainya untuk segera memesan ojek online. Mendorong pintu kaca, lalu berjalan ke sisi kanan. Berusaha bersembunyi di bagian yang sedikit gelap agar sosoknya tidak terlihat dari dalam. Namun belum sempat gadis itu membuka aplikasi pemesan ojek online, matanya menangkap satu sosok laki-laki dengan banyak tato kini tengah melangkah ke arahnya. Saat itu juga jantung Adistia bertalu karena takut, keringat dingin mulai menitip di sela-sela keningnya.

*

"Lo ngapain diem aja?" tegur Arman gemas melihat Evans yang malah diam di tempat dengan ekspresi merenung. "Lo percaya dia udah pesen ojek online? Memang dari tadi dia keliatan megang hape?"

Evans yang mendengar hal tersebut langsung meraih kembali kunci mobil yang tadi diletakkannya di meja. Namun gerakannya tertahan kembali saat keraguan itu muncul. Bagaimana jika sebenarnya Adistia tidak mau diantar olehnya? Bagaimana jika gadis itu membencinya setelah ditolak? Tadi saja sikap Adistia terasa dingin, mungkin lebih baik memang membiarkan gadis itu pulang sendiri.

"Kenapa diem lagi?" Arman kali ini benar-benar kesal. "Lo tahu betul, kan, apa maksud gue malam ini ngundang kalian ke sini?"

"Lo tahu kalau niat lo ini terlalu jauh dan nggak akan berhasil." Kali ini Evans yang dibuat kesal saat pada akhirnya Arman mengakui rencananya.

"Gue cuman mau buka mata lo, Vans. Biar lo nggak terus jadi pengecut yang sembunyi di balik tameng sok kuat lo itu." Arman jika sudah serius memang seperti ini, bisa mengatakan kalimat pedas untuk lawan bicaranya. Namira bahkan sampai mengusap lengan tunangannya itu.

"Maksud lo apa?" Evans tampak tidak suka dengan kalimat yang Arman katakan.

"Lo itu pengecut." Arman mungkin sudah berteriak jika tidak ingat kini mereka berada di tempat umum. "Lo suka sama Adis, itu juga semua orang udah tahu. Tapi dengan sengaja lo nipu diri lo sendiri. Apa namanya kalau bukan pengecut?"

Evans mengepalkan kedua tangannya di atas lutut untuk menahan diri agar bogem mentah tidak mendarat ke muka Arman. Dan sebelum kondisi bertambah tidak kondusif laki-laki itu memilih bangkit. Berjalan cepat ke luar meninggalkan kafe yang kondisinya semakin malam malah semakin ramai. Evans mencoba mengabaikan satu sisi hatinya yang berteriak, membenarkan perkataan Arman yang mengatakan dirinya adalah pengecut. Memang kenapa jika dia adalah pengecut? Evans hanya merasa jika perbuatannya sudah benar. Dari pada harus mengkhianati Mutia, lebih baik dia bersikap pengecut.

Evans langsung mendorong pintu kaca dan melangkah ke sisi kiri, di mana lokasi parkir memang berada di sana. Membuka kunci mobil, laki-laki itu langsung masuk. Tidak menyalakan mesin karena perasaannya sedang kacau saat ini. Mencoba mengembus dan menarik napas untuk menenangkan diri terlebih dulu. Saat itulah matanya menangkap sosok yang dikiranya sudah pergi meninggalkan tempat ini. Malah sedang berdiri dengan aura tegang menguasai, saat mengarahkan pandang ke mana mata Adistia tertuju, Evans dengan sigap langsung turun dari mobil untuk menghampiri gadis itu.

*

Adistia mencoba menguasai rasa takut yang menerjang. Apalagi saat laki-laki dengan banyak tato yang mungkin sebenarnya tidak memiliki niat apa pun itu kini berdiri persis di depannya. Membelakanginya tanpa melakukan pergerakan. Adistia berusaha untuk melangkahkan kakinya, tetapi seperti terpaku ke dalam tanah. Tangannya kian gemetar, bahkan ponselnya nyaris jatuh. Di saat air matanya nyaris keluar, sebuah tangan tiba-tiba saja menarik lengannya untuk berjalan menjauh.

Awalnya Adistia ingin memberontak saat mengira laki-laki bertato itu yang menariknya. Akan tetapi saat melihat ternyata Evanslah yang kini memegang tangannya, gadis itu mengembus napas pelan. Ada rasa aman yang perlahan menetralkan degup jantungnya. Sesekali gadis itu menoleh ke arah laki-laki bertato tadi berada. Tidak ada pergerakan berarti yang laki-laki itu lakukan, tetapi tetap mampu membuat seorang Adistia bergidik ngeri.

"Nggak usah dilihat terus." Kalimat Evans menghentikan apa yang Adistia lakukan. Meski Evans tidak menatapnya sama sekali saat mengatakan kalimatnya itu, Adistia tetap mengangguk. Kini matanya diam-diam mencuri pandang ke arah wajah Evans yang menunjukkan ekspresi datar.

Tanpa mengatakan apa pun Evans langsung membuka pintu mobil dan mengisyaratkan Adistia untuk masuk. Namun gadis itu malah hanya diam tertegun, mendongak untuk menatap mata Evans.

"Aku—"

"Aku antar, takutnya preman itu bakalan datang ke sini." Entah mengapa Evans harus mengatakan kalimat itu, padahal dia juga tahu laki-laki tadi adalah penjaga kafe ini dan tidak akan melakukan apa pun pada Adistia. Mencoba menahan senyum yang hadir saat gadis di depannya langsung naik ke mobil tanpa memprotes. Tatapan takutnya kali ini sungguh terlihat menggemaskan di mata Evans. Rindu yang sejak beberapa hari ini tertimbun seperti terangkat sedikit demi sedikit.

Setelah memastikan Adistia duduk dengan baik, laki-laki itu segera memutar langkah untuk masuk ke dalam mobil melalui pintu lain.

"Seatbelt-nya dipakai," ujar Evans sembari menyalakan mesin mobil. Melirik gadis di sampingnya yang hanya menganggukkan kepala dan menuruti apa yang diperintahkannya. Selanjutnya mobil melaju dengan kondisi hening.

Adistia yang duduk tenang di bangku penumpang sesekali melirik ke arah Evans. Jika tadi jantungnya bertalu hebat karena ketakutan, kini debar lembut itu hadir. Apalagi saat genggaman tangan Evans yang terasa hangat tadi masih terasa. Tanpa sadar bibir itu tersenyum, ada harap yang kembali menelusup masuk. Namun saat menyadari jika harap itu hanya akan menghancurkannya kembali, Adistia mencoba menepisnya mati-matian. Tidak boleh berpikir lebih karena bisa saja malam ini hanya akan berjalan singkat, dan esok semuanya akan kembali seperti semula. 

***

Masih bikin gemes pokoknya tingkah Mas Bule kita. :)

Jangan lupa mampir ke 2 cerita ongoingku yang lain, ya. 

Yang suka tema nikah kontrak dengan karakter cowok dingin bisa baca - Bukan Kisah Sempurna

Yang suka cerita perjodohan dengan genre dewasa muda, idola kampus, bisa baca - Mengejar Cintamu

Masing-masing update bergantian setiap minggunya. Kalau mau baca langsung tamat juga bisa ke Karyakarsa karena ke-3 cerita ini sudah update sampai tamat di sana.  

Terima kasih, luv banyak-banyak dari aku, Aya :D

Mr. COFFEE and Miss COOKIEWhere stories live. Discover now