Bab 14. Satu kecupan

78 20 17
                                    

Selepas makan malam, Evans masih tertahan di rumah Adistia karena ayah gadis itu seperti sengaja tidak membiarkannya langsung pulang. Evans yang merasa tidak tepat jika dia memaksakan diri untuk pamit akhirnya membatalkan janji temunya dengan seorang teman berniat membicarakan kerja sama dengannya. Evans sudah mengatur ulang janjinya untuk besok dan beryukur semuanya tidak menjadi masalah. Anggap saja ini sedikit pengorbanan yang harus dilakukannya untuk menyingkirkan Berlian. Jika dia bisa membantu Adistia semaksimal mungkin, gadis itu pun akan membantunya tanpa perhitungan nanti. 

"Bun, itu ngapain ayah nahan-nahan Mas Evans? Dia masih ada kerjaan loh," ujar Adistia sembari melongok ayahnya dan juga Evans yang tengah duduk di teras samping rumah. 

"Kalau ayah kamu sampai nahan kayak gitu, itu artinya pertanda bagus," jelas sang bunda sembari meletakkan piring kotor bekas makan malam ke bak cuci piring. Adistia pun dengan sigap mulai mencuci piring-piring kotor tersebut. 

"Maksudnya?"

"Ayah kamu kalau nggak suka sama orang nggak bakalan mau berinteraksi lama sama orang tersebut. Kalau dia mau ngajak Evans ngobrol lama itu artinya dia suka sama pilihan kamu." Arumi memerhatikan wajah putri bungsunya yang mendadak dipenuhi senyum. Dari situ sebagai seorang ibu dia bisa merasakan jika Adistia sangat menyukai Evans. 

"Beneran, Bun?" tanya Adistia sembari menoleh pada sang bunda, lalu saat anggukan kepala dilihatnya, gadis itu pun cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya. Berharap bisa segera mendekat ke tempat ayahnya dan Evans berbicara, lalu menguping apa saja yang diobrolkan dua orang berbeda generasi itu. Namun, belum sempat dirinya menguping, sosok Evans sudah muncul di pintu dapur. 

"Kopi yang kemarin aku bawa masih ada?" tanya laki-laki itu. Adistia pun mengangguk dan segera mengambil kopi yang masih utuh, belum dibuka karena memang tidak ada penikmat kopi di rumah ini. Kopi ini rencananya akan dikirim kepada kakak keduanya yang saat ini tinggal di Bandung. 

"Mau buat apaan, Mas?" tanya Adistia sembari menyerahkan satu bungkus kopi pada Evans. 

"Ayah kamu katanya penasaran sama kopi racikanku." Evans meminta Adistia untuk menyediakan panci, gelas, gula, serta sendok. Meski bingung gadis itu menuruti permintaan Evans. 

"Ayah mau minum kopi?" Adistia heran karena setahu dirinya sang ayah tidak suka dengan kopi. Apalagi menikmatinya malam hari seperti ini, yang ada mata tidak akan bisa terpejam sedikit pun nanti. 

"Memangnya beliau nggak pernah ngopi?" Gelengan kepala Adistia laki-laki itu dapat sebagai jawaban. "Kalau gitu nanti cobain satu sendok aja biar nggak ada efek yang berlebih." 

Adistia kali ini hanya mengangguk, memerhatikan tangan Evans yang begitu cekatan meracik kopinya. Setelah menuang kopi, gula serta air dengan komposisi yang pas ke dalam panci kecil, laki-laki itu meletakkannya di atas kompor lalu memasaknya. 

"Dimasak langsung? Nggak pakai air panas aja?" Adistia sama sekali bukan penikmat kopi jadi tidak tahu menahu bagaimana caranya membuat kopi yang nikmat. 

Evans tersenyum, lalu segera mamatikan kompor saat air berisi kopi sudah mendidih. "Ini cara sederhana buat bikin kopi yang nikmat saat nggak ada alat lain."

Adistia hanya mengangguk-anggukan kepalanya meski tidak paham nikmatnya kopi ada di mana. Apalagi kopi hitam, rasanya tetap saja pahit. 

"Mau coba?" Adistia segera menggelengkan kepala. "Sedikit aja." Evans menyorongkan sesendok teh kopi yang akhirnya terpaksa Adistia terima. Ekspresi yang gadis itu tunjukkan langsung mengernyit tidak suka. 

"Pait," katanya yang memancing tawa kecil Evans menguar. Hal yang membuat gadis itu terpana untuk sebentar sebelum akhirnya mengalihkan mata ke arah lain sebelum Evans menyadari kekagumannya. 

"Bisa tambahin susu, atau ada krimer?"

"Kayaknya ada." Adistia segera mencari krimer yang bulan lalu kakaknya tinggalkan di dapur. "Ini."

Evans menambahkan krimer ke kopi buatannya. "Udah bisa dicoba lagi."

Adistia kali ini menyendok dengan tangannya sendiri, lalu mengangguk saat rasanya mulai aman di lidah. "Yang ini lumayanlah, bisa sedikit dinikmati."

Evans kembali menunjukkan tawa kecil, dan Adistia kembali terpana oleh keceriaan yang muncul di wajah Evans. Tanpa keduanya sadari, jika sejak tadi dua pasang mata mengawasi dari balik kaca transparan di meja makan. Senyum simpul dan lega ditunjukkan kedua orang tua Adistia saat melihat interaksi anaknya juga laki-laki yang dibawanya. Sepertinya, Evans memang pasangan tepat yang bisa membuat anak bungsu keluarga ini bahagia. 

*

Evans akhirnya bisa keluar dari rumah Adistia pukul 9 malam lebih. Adistia senang karena interaksi antara ayahnya dan juga laki-laki jangkung yang kini berjalan di sampingnya ini berjalan baik. Evans sungguh pandai mengambil hati orang, termasuk sang ayah yang sebenarnya sedikit sulit untuk didekati. 

"Makasih banyak loh, Mas. Hari ini ayah keliatan seneng banget." Adistia berhenti saat sudah sampai di samping mobil Evans terparkir, laki-laki itu pun segera berhenti sembari menyalakan remote untuk membuka kunci mobil. 

"Sama-sama, seperti yang aku bilang tadi. Anggap aja hari ini sebagai ucapan terima kasih karena kamu masih mau bantuin aku."

Adistia mengangguk, rasa kecewa yang sempat hadir tadi tidak lagi dirasakannya. Evans bisa bersikap begini baik harusnya dia merasa bersyukur. Setidaknya permasalahan perjodohan dengan Bisma bisa teratasi dengan baik. 

"Besok mungkin aku bakalan dateng agak sore ke kedai. Ada beberapa pesenan yang harus dibuat soalnya," ujar Adistia sebelum Evans membuka pintu mobil untuk pergi. 

"Sesempetnya kamu aja, jangan dijadiin beban, ya."

"Siaap!" ujar Adistia penuh semangat, membuat Evans nyaris hilang kendali ingin menepuk puncak kepala gadis itu. Tangan yang sudah terangkat, laki-laki itu alihkan untuk menyugar rambutnya dengan gaya canggung. Namun beruntung sepertinya Adistia tidak menyadari gerakannya. 

"Ya udah aku pamit, ya." Evans sudah membuka pintu, berniat untuk naik, tetapi geraknya tertahan oleh tangan Adistia yang tiba-tiba saja memegang ujung kaosnya. 

"Kenapa?"

"Di seberang jalan, agak ke sudut, ada mobil Bisma," bisik Adistia sembari melirik ke arah yang dimaksud. Evans pun dengan gerakan pelan menolehkan kepalanya ke arah yang Adistia tunjukkan. 

"Mantan kamu?" 

Adistia mengangguk kaku, takut jika Bisma akan nekad mendekatinya. Evans entah mendapat ide dari mana, langsung berbalik menghadap ke arah Adistia. Memegang pundak gadis itu, lalu memberikan senyuman yang tentu saja membuat bingung.

"Maaf sebelumnya," ujar Evans sebelum akhirnya mendaratkan satu kecupan di kening Adistia. Jangan bayangkan kecupan langsung dari bibir ke kening, tetapi ada telapak tangan yang sengaja Evans gunakan untuk pembatas. Hal gila yang mampu membuat jantung Adistia berpacu cepat. Dan mampu membuat Si Pemantau di kejauhan sana mengira jika itu kecupan sungguhan. 

"Langsung masuk rumah." Evans masih memunculkan senyum, entah sorot seperti apa yang kini laki-laki itu tunjukkan karena remang lampu jalan tidak sepenuhnya menyinari. Namun yang Adistia tahu, hingga laki-laki itu meninggalkannya dengan mobil yang menghilang di keheningan malam, dia baru tersadar jika sejak tadi menahan napasnya. Beruntung gadis itu tidak lupa cara mengisi paru-parunya kembali.

Mr. COFFEE and Miss COOKIEजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें