Bab 15. Senyuman Evans

68 18 22
                                    

Evans berdiri resah di balkon kecil yang berada di kamarnya. Menatap pemandangan gelap di depan sana dengan pikiran berkecamuk. Kenapa dia baru sadar jika tindakannya tadi terlalu gegabah? Bagaimana jika Adistia tersinggung, dan berpikir telah dilecehkan tadi? 

Mengacak rambutnya kesal, laki-laki bertubuh jangkung itu memilih masuk dan menutup pintu kaca pembatas antara balkon dengan kamarnya. Menyalakan pendingin udara, lalu melempar tubuhnya ke kasur sembari menatap langit-langit. Namun tidak lama Evans kembali bangkit, meraih ponsel yang tergeletak di atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Berniat menghubungi Adistia untuk meminta maaf. Akan tetapi, apa yang harus dikatakannya nanti?

Tadi yang ada di pikiran Evans hanyalah agar mantan gadis itu tidak lagi mengganggu. Percaya jika dia adalah kekasih Adistia untuk saat ini. Walaupun seharusnya tidak perlu sampai mencium—Evans kembali mengacak rambutnya kesal saat kejadian memalukan itu kembali teringat di kepalanya. Dia tidak terlalu menangkap bagaimana ekspresi yang Adistia perlihatkan tadi karena pencahayaan memang hanya terdapat dari lampu jalan. Namun Evans yakin jika Adistia sangat terkejut dengan tindakan asalnya. 

Menghilangkan ragu, laki-laki itu mulai mencari nama Adistia dan segera menghubungi gadis itu. Hingga dering ketiga panggilannya tidak mendapat jawaban. Apa Adistia marah? Nyaris Evans memutus sambungan di dering kelima, tetapi urung saat suara pelan itu menyapanya. 

"Aku ganggu?" tanya Evans saat sadar jam sudah menunjuk angka 12 lebih. 

"Oh, enggak, kenapa, Mas?" Seperti Adistia yang biasa, selalu semangat setiap kali menjawab pertanyaannya. Hal yang diam-diam selalu memancing bibir Evans untuk tersungging. 

"Emm, aku cuman mau minta maaf soal tadi," ujar Evans hati-hati. Tidak bisa membayangkan bagaimana ekspresi yang kini Adistia tunjukkan di seberang. "Tadi itu aku cuman refleks, biar mantan kamu—"

"Iya nggak papa, kok, Mas," potong Adistia cepat. "Aku paham maksud Mas Evans."

Evans menganggukkan kepalanya meski tahu Adistia tidak akan melihatnya. "Tapi tadi mantan kamu langsung pergi, kan?" 

"Iya, mobilnya langsung pergi."

"Ya sudah kalau gitu, selamat istirahat, sekali lagi aku minta maaf." Evans memutus sambungan terlebih dulu. Sedikit merasa lega meski tidak tahu apa yang sebenarnya kini Adistia pikirkan tentang dirinya. Mencoba menghalau pikiran yang belum tentu benar, laki-laki itu memilih merebahkan kembali tubuhnya untuk masuk ke alam mimpi. 

*

Sementara di sebuah kamar lain seorang gadis tengah membenamkan wajahnya pada bantal. Mencoba menghalau bayangan yang terus muncul di benaknya setiap kali mencoba untuk menutup mata. Adistia bingung dengan sikapnya yang mirip seperti remaja tengah kasmaran ini. Berapa usianya? Kapan dia terakhir jatuh cinta? Kapan dia terakhir pacaran? Adistia heran kenapa bisa menjadi segelisah ini hanya karena dicium—ah ralat, tadi itu bukan ciuman yang sebenarnya. Ada telapak tangan Evans yang menghalangi bibir laki-laki itu dengan keningnya. Sungguh sesuatu yang tidak istimewa sebenarnya, tetapi kenapa terus terngiang dan mampu membuat jantungnya terus berdebar-debar?

Adistia mengerang kesal pada pikirannya yang tidak bisa diajak istirahat sebentar, apalagi setelah telepon dari Evans masuk dan laki-laki itu meminta maaf. Evans saja menyesal telah melakukan hal tadi, laki-laki itu pasti merasa telah melakukan perbuatan salah. Padahal jika keadiannya lebih dari tadi saja dia tidak masalah. Tidak juga bisa memejamkan mata, gadis yang sudah mengenakan setelan piyama dengan motif batik itu memilih keluar untuk mengambil air dingin. 

"Nggak bisa tidur?" Adistia yang sedang membuka kulkas untuk mengambil air dingin sedikit tersentak, dan menoleh dengan wajah terkejut pada sosok ayahnya yang entah sejak kapan sudah duduk di meja makan. 

Mr. COFFEE and Miss COOKIEHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin