Bab 10. Pilihan yang tepat

72 19 23
                                    

"Adis, ikut mama sebentar." Adistia yang sedang menemani Kenzo bermain pun menoleh sejenak pada Evans. Lalu saat laki-laki yang duduk di sampingnya itu memberi anggukan, maka Adistia segera bangkit dari tempatnya duduk bersila untuk mengikuti langkah mama Evans yang tadi memanggilnya.

Mama Evans mengajaknya masuk ke sebuah ruangan seperti tempat khusus untuk membaca. Ada rak tinggi yang mengelilingi ruangan bernuansa cokelat itu, di mana masing-masing rak tertata rapi buku-buku dari berbagai macam ukuran dan juga jenis. Sementara di tengah ruangan ada dua sofa panjang juga meja yang tertata rapi, terlihat begitu nyaman jika dipakai untuk tidur atau sekadar bersantai membaca buku.

"Sini, Dis." Mama Evans menepuk sofa beledru berwarna abu tua yang kini wanita itu duduki. Lalu saat Adistia sudah duduk di sampingnya, mama Evans tampak mengambil sebuah album foto besar dari bawah meja di depan mereka.

"Apa Evans sudah menceritakan tentang Mutia?" Adistia menggelengkan kepalanya karena nama itu sama sekali belum pernah Evans sebut. Hanya nama Berlian yang tersebut sebagai orang yang terus menganggu. Katanya malam ini Berlian akan datang, tetapi sampai jam sudah menunjuk pukul sembilan belum juga tampak batang hidung gadis itu.

"Ini Mutiara, mendiang istri Evans." Nawitri membuka sebuah album foto dan menunjuk seorang gadis yang tengah berdiri di samping Evans, keduanya tersenyum penuh kebahagiaan di foto itu. Adistia pun mengambil alih album tersebut, penasaran sekali dengan sosok istri yang sangat Evans cintai.

"Mutia gadis yang baik, lemah lembut, dia juga gadis pertama dan satu-satunya yang pernah Evans bawa pulang sebelum kamu." Adistia cukup terkejut, sekaligus merasa istimewa andai saja saat ini statusnya bukanlah pacar pura-pura.

"Tapi sayang umurnya nggak panjang," keluh mama Evans dengan aura sedih. Adistia pun langsung sigap menyentuh punggung tangan wanita yang sudah mulai menunjukkan keriput itu.

Nawitri tersenyum, membalas genggaman tangan Adistia. "Tapi saat denger Evans mau bawa pacarnya pulang, terus dikenalin ke Mama, Mama bahagia sekali. Mama pikir Evans akan terus mengingat Mutia dan tidak mau membuka hati."

Adistia tersenyum samar, merasa bersalah untuk kebohongan yang dirinya bangun dengan Evans kali ini. Kebahagaian yang mama Evans rasakan bukankah sama saja dengan kebahagaiaan semu? Dan Adistia merasa sangat jahat karena sudah membuat wanita sebaik ini tertipu.

"Mama boleh minta sesuatu sama Adis?" Nawitri menggenggam jemari Adistia dengan kedua tangannya.

Adistia mengangguk ragu, entah mengapa takut permintaan yang mama Evans ajukan adalah sesuatu yang sulit.

"Mungkin saat ini hati Evans belum bisa terbuka sepenuhnya untuk kamu." Nawitri sebenarnya bisa merasakan jika anak laki-lakinya itu masih menjaga jarak dengan Adistia. Meski kedatangan keduanya dengan bergandengan tangan, entah kenapa tidak terlihat ketulusan di sana. Hanya terlihat seperti bentuk formalitas untuk ditunjukkan pada dunia jika mereka adalah pasangan, tidak ada perasaan sama sekali.

"Evans itu sekalinya jatuh cinta akan sulit untuk melupakan," lanjutnya sembari menghela napas. "Mama minta sama Adis untuk bersabar, dan terus berjuang meluluhkan hati Evans. Mama yakin suatu saat nanti Evans akan bisa mengalihkan seluruh hatinya untuk kamu."

Adistia mendadak kehilangan kata-kata. Entah mengapa dia merasa jika mama Evans mengetahui kebohongan hubungan yang sedang dibangunnya dengan Evans. Apa sebaiknya dia mengaku saja? Setidaknya rasa bersalah ini tidak akan terus bercokol di dalam hatinya. Dan siapa tahu dia bisa meminta bantuan mama Evans untuk meluluhkan hati anaknya itu. Namun niat Adistia tidak terlaksana karena sosok yang mereka bicarakan tiba-tiba muncul.

"Lagi pada ngomongin apa, sih, serius banget?" Evans berjalan mendekat, senyum yang laki-laki itu tunjukkan luntur saat melihat album foto yang kini berada di tangan Adistia.

"Cuman ngobrol biasa, mau tahu aja kamu urusan wanita." Mama Evans langsung mengambil album foto di tangan Adistia dan menyimpan kembali benda itu ke tempatnya.

"Sudah larut, mau pulang sekarang?"

Adistia melirik jam di ponselnya, lalu mengangguk. "Tapi aku ke toilet dulu," katanya seraya bangkit setelah Evans menganggukkan kepalanya.

"Mama nggak ngomong aneh-aneh, kan, sama Adis?" tanya Evans penuh selidik setelah sosok Adistia tidak terlihat.

"Aneh-aneh apa, sih? Orang ngobrol biar akrab saja." Nawitri bangkit dan berjalan ke luar. Evans pun ikut meninggalkan ruangan belajar tempat biasa dia menghabiskan waktu untuk mengenang kembali mendiang sang istri melalui album foto kenangan mereka.

"Mama juga wanti-wanti Adistia agar bisa sabar ngadepin kamu nanti."

"Loh, sabar gimana?" protes Evans tidak terima dengan perkataan mamanya. Namun wanita itu malah tertawa lirih.

"Kamu itu, kan, kadang suka lupa waktu kalau lagi kerja. Takutnya nanti Adis dicuekin." Evans hanya berdecak malas sebagai tanggapan. "Kamu bawa dia ke rumah dan dikenalin ke Mama itu artinya sudah serius, kan?"

Pertanyaan itu menghentikan langkah Evans, apalagi saat mamanya juga berhenti, membalikkan tubuh dan menatap matanya. "Jangan permainkan hati gadis lain untuk menghindari gangguan dari gadis lainnya."

Harusnya Evans tahu jika mamanya sulit untuk dibohongi. Padahal dia sudah merasa aktingnya dengan Adistia sangat baik. Orang tua Adistia saja bisa tertipu, tetapi kenapa mamanya seperti sudah tahu segalanya?

"Adistia gadis baik, Mama akui Mama suka sama dia," ujar Nawitri dengan senyuman lembut. "Sebenarnya Mama akan suka sama semua pilihan gadis yang sudah kamu tentukan. Hanya saja saat melihat Adistia ini Mama merasakan ketertarikan seperti saat kamu bawa Mutia bawa pulang dulu."

Evans diam, tidak mau membandingkan mereka karena keduanya memang sosok yang berbeda. Sama-sama sederhana, hanya saja Mutiara lebih lembut dari Adistia.

"Keduanya memang sosok yang berbeda, tapi mampu menarik perhatian Mama dengan rasa yang sama." Nawitri seperti paham isi pikiran anak laki-lakinya ini. "Mama yakin kalau Adistia ini adalah pilihan yang tepat untuk kamu."

Andai saja hubungan ini adalah sungguhan Evans akan sangat senang saat gadis yang dibawanya disukai sang mama. Seperti dulu saat dia membawa Mutiara pulang untuk dikenalkan sebagai calon istri. Namun saat kenyataannya mereka hanya memiliki hubungan palsu, rasa bersalah itu malah menelusup masuk tak terkendali. Apa sebaiknya dia mengaku saja?

"Apa pun yang saat ini kalian jalani Mama berharap Tuhan akan menjodohkan kalian berdua kelak." Saat itu tidak ada yang sadar jika sosok yang mereka bicarakan sedang menguping di balik tembok pembatas antara ruang tengah dengan kamar mandi. Adistia segera mengaminkan doa yang terselip di kalimat mama Evans, sementara hal lain tentu saja Evans lakukan. Dia hanya ingin berjodoh dan bertemu dengan Mutia di akhirat kelak, tidak mau lagi berjodoh dengan siapa pun lagi.

"Sekali lagi Mama bilang, dia pilihan yang tepat dan jangan disia-siakan."

Evans sudah ingin membeberkan fakta jika hubungannya dengan Adistia palsu, tetapi urung saat suara teriakan Berlian terdengar di depan bersamaan dengan bel yang berdenting. Tidak, belum boleh untuk membeberkan fakta yang terjadi karena penganggu dalam hidupnya belum tersingkir. 

Mr. COFFEE and Miss COOKIEWhere stories live. Discover now