Bab 40. Perlindungan Evans

66 13 2
                                    

"Kali ini saya maafkan, tapi kalau sampai terulang, saya nggak akan segan-segan membawa semua ini ke jalur hukum." Ancaman itu Evans layangkan pada sosok wanita di depannya. Tidak lain adalah orang yang Berlian bayar untuk memfitnah Adistia.

"Iya, Mas, saya janji nggak bakalan ngulangin lagi. Saya benar-benar nyesel." Wanita yang mengaku sebagai ibu rumah tangga biasa itu tampak menunduk takut. Katanya dia mau menerima tawaran Berlian karena sedang membutuhkan uang untuk biaya pengobatan anaknya.

Entah benar atau tidak, yang jelas Evans sudah menuntaskan satu masalah. Melaporkan ke polisi tentu saja hanya gertakan yang Evans buat untuk membuat wanita itu takut. Yang terpenting baginya saat ini nama toko kue online milik Adistia sudah bersih.

Beruntung dia memiliki banyak koneksi yang bisa dimintai bantuan untuk urusan seperti ini. Sehingga tidak membutuhkan waktu 24 jam untuk mendapatkan identitas orang yang sudah membuat video fitnah, juga komentar buruk di media sosial milik Adistia. Totalnya ada lima orang, dan hari itu juga semuanya Evans temui langsung untuk memberikan efek jera.

"Thanks, ya. Uangnya udah gue transfer," ujar Evans pada seseorang di seberang telepon. Lalu laki-laki itu segera masuk ke dalam mobil. Lelah baru terasa saat semua masalah terselesaikan. Bahkan Evans baru merasakan lapar karena sejak siang lupa mengisi perutnya, dan sekarang waktu sudah hampir menunjuk pukul 12 malam.

Evans melajukan mobilnya meninggalkan bangunan di mana pedagang-pedagang kecil berjualan hingga malam di depan jajaran ruko yang sudah kosong. Entah bagaimana caranya Berlian mengenal orang-orang yang dibayarnya ini untuk membuat kekacauan. Gadis itu sungguh tidak bisa diremehkan.

Sejak tadi Evans berusaha menghubungi ponsel Berlian, berencana untuk memberi peringatan, tetapi sial sekali karena Berlian menonaktifkan gawainya hingga sekarang. Evans hanya bisa mengembus napas lirih, berharap kegilaan tidak lagi akan gadis itu buat, apalagi jika target yang menjadi sasaran adalah Adistia. Kali ini hati Evans sungguh-sungguh merasakan resah yang tidak juga berakhir.

Evans meraih ponselnya yang diletakkan di atas dasboard saat mobil terjebak lampu merah. Mengirim pesan singkat pada Arman jika semua masalah sudah selesai. Seharian ini dia memang terus berkomunikasi dengan sahabatnya itu untuk meminta bantuan memantau kondisi Adistia. Tanpa mengatakan apa pun untungnya Arman bersedia. Meski mungkin yang Adistia anggap dewa penolong saat ini adalah Arman, itu tidak menjadi masalah.

Evans tentu saja mengatakan itu sebagai bentuk penghiburan untuk dirinya sendiri. Jika bisa sesungguhnya dia ingin sekali datang menemui gadis itu, melihat kondisinya secara langsung, dan mengatakan jika semua akan baik-baik saja selama ada dia. Namun sayangnya itu hanya sebatas keinginan yang tidak mungkin terwujud karena ego yang melarang untuk mewujudkannya.

*

"Arman keren juga, ya, bisa langsung selesaiin masalah kayak gini." Kalimat itu terlontar begitu saja tadi, saat Adistia masih mengira jika memang Arman yang sudah membantunya. Namun saat melihat gesture aneh yang Namira tunjukkan, sepertinya bukan tunangan sang sahabat yang sudah menolongnya.

"Yah, gitu, deh. Kan, Mas Arman koneksinya banyak." Namira jika sedang berbohong atau mencoba menutupi sesuatu akan melarikan matanya ke mana pun. Tidak berani melihat ke arah orang yang diajak bicara.

"Tapi dia kok longgar banget, ya? Bukannya hari ini kerja. Akhir bulan juga, biasanya cowok lo sibuk." Adistia mencoba menyelidik wajah Namira saat mengatakan hal tersebut.

"Emm, gue gerah, deh. Mau numpang mandi!" Namira bangkit dari kasur tempat keduanya duduk, dan bergegas lari ke luar kamar untuk menuju kamar mandi. "Dis, pinjem anduk sama baju!" teriak gadis itu tanpa mau menoleh. Rencananya malam ini Namira memang akan menginap karena tidak mungkin pulang di tengah malam begini meski rumahnya berada di komplek sebelah.

Adistia tersentak oleh suara ponsel yang berbunyi. Bukan miliknya, melainkan milik Namira. Sang sahabat sekarang sudah meringkuk di bawah selimut dengan mata terpejam. Selepas mandi tadi gadis itu langsung tidur. Adistia tahu Namira sengaja menghindari interogasinya. Membuat gadis itu yakin jika ada yang sahabatnya sembunyikan. Maka saat ponsel milik Namira terus saja berdenting menandatakan satu pesan masuk, Adistia nekad untuk memeriksanya.

Semua pesan yang masuk adalah dari Arman. Adistia hanya membaca pesan yang muncul di pop up, tidak berani membukanya. Walaupun mereka bersahabat, tetapi masing-masing memiliki privasi. Baru saat pesan itu berubah menjadi panggilan, Adistia memutuskan untuk mengangkatnya. Kasihan juga kalau sampai Namira terganggu, gurat lelah tercetak jelas di wajah gadis itu saat ini.

"Belum tidur, Yang?" Suara berat khas perokok langsung terdengar dari seberang.

"Sayangnya lo udah tidur, hampir aja telepon lo ganggu." Adistia yakin Arman tengah terkejut saat ini karena malah suaranya yang terdengar.

"Gue mau nanya, tapi lo harus jawab jujur." Adistia kembali bersuaara sebelum Arman sempat bersuara.

"Apa? Lo nggak capek apa, Sul seharaian nangis?"

Adistia berdecak malas, tidak memedulikan pertanyaan bernada ejekan itu lantas berkata, "Yang ngurusin semuanya bukan lo, kan?" Adistia yakin Arman paham dengan kalimatnya yang tidak terlalu jelas ini.

"Ya lo tebak sendiri aja, gue sibuk seharian. Lo pikir bakalan sempet ngurusin masalah lo?" Adistia sedikit terkejut karena Arman tidak berusaha menyangkal.

"Jadi siapa?"

"Nggak usah pura-pura bego lo, udah tahu kan siapa? Udah, gue mau molor." Setelahnya panggilan dimatikan begitu saja. Adistia hanya bisa berdecak gemas dengan kelakuan Arman yang memang selalunya ajaib.

Meletakkan ponsel Namira kembali ke tempatnya, Adistia kini membaringkan tubuh sembari menatap langit-langit kamarnya yang menunjukkan cahaya temaram dari lampu tidur. Pikirannya menerawang jauh ke mana-mana.

"Jadi bener, dia yang udah nolongin gue?" gumamnya sembari membayangkan bagaimana sibuknya Evans hari ini. "Kenapa kamu masih peduli sama aku, sih, Mas?" Bibir Adistia mengerucut, merasa kesal dengan pemikirannya sendiri.

Apa dia harus berterima kasih langsung? Namun bagaimana caranya? Bagaimana kalau nanti tanggapan Evans tidak sesuai harapan? Ah, sudahlah, lebih baik dia tidur saja. Namun sial sekali, karena dalam mimpi sosok bermata biru itu malah muncul untuk menganggunya.

*

Evans membaringkan tubuh lelahnya di atas pembaringan. Menatap langit-langit kamarnya yang menunjukkan gelap. Tidak menyalakan lampu tidur karena berharap bisa segera memejamkan mata. Evans tidak suka ada sedikit pun cahaya saat dia sedang terlelap, bahkan lampu tidur yang temaram sekalipun.

Masalah hari ini memang sudah selesai, tetapi bagaimana dengan besok? Evans tidak yakin Berlian akan berhenti sampai di sini. Gadis itu, Evans menyesal karena sudah menyelepelekan ancaman yang diucapkan Berlian. Seharusnya dia tahu bagaimana nekadnya Berlian jika sudah menginginkan sesuatu, atau jika egonya sudah disenggol. Apa yang harus dilakukannya agar Adistia tetap dalam kondisi aman?

Niat Evans untuk memejamkan mata tidak terlaksana. Pikirannya sungguh penuh dengan tanya saat ini. Dan saat satu ide muncul, laki-laki itu segera bangun, menyalakan lampu kamar dan meraih ponselnya untuk mencoba menghubungi seseorang. Tidak melalui telepon, tetapi melalui pesan karena ini sudah terlalu larut.

Evans tersenyum lega karena nomor orang yang sudah lama tidak dihubunginya itu masih aktif, dan segera membalas pesannya. Menyanggupi apa yang Evans minta. Hal yang akhirnya membuat Evans mampu mengembus napas lega, dan segera merebahkan kembali tubuh lelahnya ke atas kasur.

Memejamkan mata, laki-laki itu sampai lupa mematikan lampunya kembali. Entah karena lelah sudah mendominasi, atau karena bayangan Adistia yang sedang tersenyum kini melintas begitu saja di kepalanya. Dan saat kantuk mulai merajai, juga kesadaran Evans mulai menghilang perlahan. Bukan hanya senyuman Adistia yang masuk ke alam mimpinya, melainkan sosok itu terus memanggil namanya sembari tertawa, menunjukkan gigi gingsul yang terus membuatnya merindu.

***

Aku mau ngucapin Selamat Hari Raya IdulFitri buat kalian yang merayakan. Mohon maaf lahir dan batin, ya, temen-temen. Semoga bulan Ramadhan kemarin yang kita lalui membawa berkah, dan kita dipertemukan dengan bulan ramadhan tahun depan. Aamiin Allahuma Aamiin. 

Sampai jumpa minggu depan, dan selamat liburan. :)

IG - dunia.aya

Mr. COFFEE and Miss COOKIEWhere stories live. Discover now