Bab 36. Perhatian Evans

71 8 2
                                    

Kecanggungan masih merajai suasana di dalam mobil berisikan dua orang itu. Masing-masing terlihat bingung harus memulai topik pembicaraan seperti apa. Keakraban yang pernah terjalin sudah hancur dan rasanya sulit sekali untuk dikembalikan seperti semula. Adistia yang masih berusaha menepis harap di hatinya, terus melemparkan pandang ke luar jendela mobil. Pemandangan jajaran ruko serta pepohonan yang seperti saling berlarian seolah-olah lebih menarik dari pada wajah tampan laki-laki di sampingnya. Tanpa gadis itu sadari, sejak tadi mata Evans teru mencuri pandang ke arahnya.

Suara gemerisik terdengar menyita sedikit fokus Adistia. Saat menoleh, didapatinya Evans tengah menyalakan radio. Mungkin merasa keheningan yang tercipta mulai menimbulkan ketidaknyamanan. Lagu pop lama milik Kerispatih yang berjudul Mengenangmu mengalun begitu saja. Jika kemarin-kemarin lagu sendu untuk mengenang seseorang yang sudah tiada itu terdengar romantis, entah mengapa saat didengarkan sekarang Adistia merasa tidak nyaman sama sekali. Dia seperti tengah mendengarkan suara hati Evans untuk istrinya. Entah karena pemikiran yang sama atau apa, Evans yang juga terlihat tidak nyaman langsung mengganti saluran.

Kecanggungan yang terasa aneh semakin terasa. Adistia bahkan mulai merasa perjalanan ke rumahnya yang seharusnya tidak memakan waktu lama terasa panjang sekali. Berapa waktu lagi mereka akan sampai? Nyaris saja Adistia meminta Evans untuk menurunkannya di jalan, tetapi mendadak laki-laki itu meminggirkan mobil. Adistia pikir laki-laki itu ingin menurunkannya dari mobil karena ketidaknyamanan yang hadir. Namun pemikiran itu tertepis saat Evans tampak merogoh saku celana untuk mengeluarkan ponselnya yang berdering.

"Sebentar, ya," ujar Evans sembari menunjukkan layar ponselnya yang menunjukkan nama mama. Adistia mengangguk tanpa suara, dan hanya mendengarkan dalam diam laki-laki di sampingnya ini berbicara dengan orang di seberang.

"Jam tujuh?" Evans tampak melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Ya sudah." Lalu menutup sambungan telepon, menoleh ke arah Adistia sebentar laki-laki itu lantas berujar, "Mampir ke frozen food depan nggak papa?"

Adistia mengangkat alis, tidak terlalu mendengarkan apa yang Evans katakan.

"Mama nitip sesuatu, kita mampir ke frozen food depan sebentar nggak papa?" jelas Evans, berharap Adistia tidak keberatan.

Aku turun sini saja. Inginnya Adistia mengatakan itu, tetapi malah memilih mengangguk. Tidak mau dinilai aneh meski kini hubungan mereka tidak memiliki status apa pun, bahkan untuk sekadar teman.

Setelah melajukan mobil beberapa waktu, akhirnya Evans membelokkan kendaraan roda empat itu ke sebuah toko frozen food yang cukup terkenal di Kota Tangerang. Rumah Adistia masih cukup jauh, jika tidak gadis itu tentu saja akan memilih berjalan kaki sampai ke rumah.

"Mau ikut turun?"

Adistia segera menggelengkan kepalanya. Lebih baik dia menunggu di mobil karena jika ikut masuk maka akan ada kecanggungan dan harapan baru lain yang pasti akan muncul.

"Ya udah aku turun sebentar." Evans tampak membuka pintu mobil, tetapi seperti teringat sesuatu, laki-laki itu kembali menghadap ke arah Adistia. "Aku titip hape, sama mesin mobil nggak aku matiin," katanya lagi.

Adistia menerima ponsel Evans dengan tatapan bingung, menatap punggung laki-laki itu yang perlahan bergerak menjauh, memasuki toko frozen food yang sudah tidak terlalu ramai karena setengah jam lagi akan tutup. Dalam benak gadis itu bertanya-tanya, kenapa Evans tidak membawa ponselnya? Kenapa harus dititipkan padanya? Bagaimana kalau nanti ada telepon penting masuk?

*

Sementara Evans yang kini sudah berada di dalam toko frozen food diam-diam terus menyunggingkan senyum. Entah mengapa wajah bingung yang Adistia tunjukkan saat menerima ponselnya tadi terlihat begitu lucu. Evans memang sengaja menitipkan ponsel pada gadis itu karena takut Adistia tiba-tiba akan kabur, nekad berjalan kaki sampai ke rumah misalkan, atau gadis itu diam-diam memesan taksi atau pun ojek online. Dengan cepat Evans memilih apa saja yang akan dibelinya. Sebagian besar adalah makanan untuk Kenzo yang memang setiap harinya berada di rumah. Mamanya memang selalu menyediakan makanan frozen seperti kentang, nugget, sosis dan juga sejenisnya.

Setelah selesai, Evans bergegas untuk kembali ke mobil. Dari tempatnya, bisa dilihat sosok Adistia yang tampak duduk tenang tanpa melakukan apa pun. Evans diam-diam kembali tersenyum, hatinya menghangat untuk alasan yang tidak jelas. Semua rindu yang beberapa waktu ini bercokol seolah-olah lenyap begitu saja.

"Sorry lama," ujarnya setelah meletakkan barang belanjaannya di jok belakang, dan langsung masuk, duduk di belakang kemudi. Adistia tidak menjawab, hanya memberikan senyuman tipis sembari mengembalikan ponsel milik Evans yang sejak tadi terus berbunyi menampilkan banyak notifikasi.

"Nggak ada telepon, kan?" Evans sengaja memancing agar Adistia mau mengeluarkan beberapa kata. Dia merindukan gigi gingsul gadis itu yang muncul setiap kali tersenyum. Namun jangankan senyuman, satu suara pun tidak terdengar muncul. Jawaban yang Adistia beri hanya gelengan kepala. Sempat membuat Evans kecewa, tetapi tidak ada yang bisa dilakukan selain memendamnya.

Mobil kembali melaju dalam hening yang terasa tidak nyaman. Kondisi kembali seperti tadi, di mana Adistia memilih untuk melempar pandang ke luar jendela, sementara Evans terus melirik gadis itu.

"Ada kedai es krim, mau mampir sebentar?" ujar Evans tiba-tiba. Adistia pun menoleh cepat, kali ini pandangan bertanya-tanya gadis itu berikan.

Adistia sudah ingin membuka mulut untuk bersuara, tetapi urung, lalu memilih menggelengkan kepalanya. Dia bingung untuk sikap yang Evans berikan, kenapa laki-laki ini harus sok akrab seperti ini? Apakah dia tidak tahu jika sejak tadi dirinya terus menahan diri untuk tidak terbawa perasaan?

"Berhenti di gang depan situ saja Mas." Adistia akhirnya mengeluarkan suara saat mobil yang Evans kendarai sudah memasuki kawasan komplek perumahannya.

"Loh, kenapa?"

Adistia menunjukkan senyuman tipis sebelum menjawab, "Nanti kalau ayah atau bunda lihat mobil Mas malah repot."

Evans sudah ingin membantah, tetapi urung. Dia juga akan bingung jika ayah atau bunda Adistia memintanya mampir karena hubungannya dengan Adistia pun tidak baik saat ini. Namun menurunkan gadis ini di tempat yang ditunjuk juga bukan pilihan bagus. Gang yang Adistia maksud itu sepi sekali.

"Tapi di sini sangat sepi," ujar Evans sembari menghentikan mobil, mengedar ke sekitar. Ada beberapa rumah memang, tetapi terlihat seperti tidak berpenghuni.

"Nggak papa, di sini aman." Adistia bergegas turun sembari mengucapkan terima kasih karena Evans sudah mau mengantarkannya. Laki-laki itu hanya mengangguk, memerhatikan Adistia yang kini bergerak turun, membuka pintu mobil, lalu menutupnya. Dan sepanjang melakukan semua itu, mata Adistia sama sekali tidak menatap ke arahnya.

Evans yang merasa khawatir akhirnya memutuskan untuk turun, mematikan mesin mobilnya dan mengunci kendaraan roda empat tersebut. Tanpa sepengetahuan gadis itu dia mengikutinya di belakang, hanya ingin memastikan Adistia selamat sampai depan rumah.

Perhatian kecil yang lagi-lagi harus membuat Adistia resah, gadis itu pura-pura tidak mengetahui langkah Evans di belakangnya. Berjalan cepat, Adistia menahan diri untuk tidak menoleh, atau pertahanannya akan hancur saat itu juga dengan berlari ke arah Evans dan memeluk laki-laki itu untuk meluapkan rindu. Kenapa Evans senang sekali mempermainkan perasaannya? 

***

Sampai jumpa lagi minggu depan!!!

Sambil nunggu bisa baca ceritaku yang lain, atau kalau yang nggak sabar pengin baca lebih dulu bisa ke Karyakarsa, ya. Di sana semua cerita ongoingku sudah tamat :)

Spoiler bab 37. Kembali diusik

"Katakan apa yang perlu kamu katakan, lalu kalau sudah segera tutup pintu dari luar." Evans hanya menatap Berlian sekilas, sedikit jengah dengan pakaian gadis itu yang sangat terbuka saat ini. Drees yang dikenakan memang tidak ketat, bahkan panjangnya sampai ke lutut. Akan tetapi belahan dada yang terlalu rendah itu membuat Evans sedikit risi dan tidak nyaman untuk menatap ke depan.

Berlian mengangguk, lalu berujar, "Aku udah tahu dengan jelas apa yang terjadi sama Mas Evans dan cewek itu."

Evans menghela napas, tidak berniat menanggapi. Mata laki-laki itu masih fokus pada layar di depannya. Dalam hati sudah mulai bisa menebak topik seperti apa yang akan Berlian bangun sebagai cara untuk memprovokasinya sekarang. Ternyata gadis ini menghilang bukan untuk menyerah, tetapi menyiapkan senjata untuk menyerangnya.

"Kalian hanya pacaran pura-pura, dan Mas Evans nggak bisa nyangkal. Kalian baru kenal beberapa hari saat Mas ngajak dia ke rumah." Berlian tersenyum puas seolah-olah sudah memiliki kartu mati milik Evans.

Mr. COFFEE and Miss COOKIEOù les histoires vivent. Découvrez maintenant