Bab 11. Sosok pengganggu

69 18 23
                                    

"Malam Tante." Berlian langsung menghambur ke pelukan Nawitri seolah-olah tengah membuktikan pada gadis yang kini berdiri di samping Evans tentang arti kehadirannya di rumah ini.

"Malem, Sayang. Baru pulang kerja, ya?" Sambutan halus itu mama Evans berikan. Membuat Adistia mengerti, ternyata mama Evans adalah orang yang akan bersikap lembut pada siapa pun.

Berlian mengangguk dengan wajah lelah dibuat-buat, lalu melirik lagi ke arah Evans dan Adistia kini berdiri. Sempat ada kilat marah yang tersorot dari matanya saat melihat Evans menggandeng tangan gadis di sampingnya. Namun selayaknya orang yang pandai berakting, gadis itu bisa menutupi dengan senyum manis.

"Nggak usah aku jelasin siapa dia, kan?" bisik Evans pada Adistia saat sosok Berlian mulai bergerak ke arah mereka.

Adistia mengangguk, tanpa sadar menggenggam erat jemari Evans saat dilihatnya sosok bernama Berlian ini menjadikannya fokus untuk dilihat. Mata Adistia juga sempat memindai sosok Berlian yang terlihat begitu mewah dengan penampilannya.

Make up tebal, tetapi anehnya tidak terlihat menor, semuanya terpulas rapi dan juga cantik. Baju seksi yang dikenakan membentuk pas tubuh proposional Berlian, belum lagi rambut yang dicat almond itu sangat serasi dengan kulit putih Berlian. Semua yang menempel di tubuh gadis itu terlihat mewah, indah, dan mempesona. Akan membuat siapa pun minder saat melihatnya, termasuk juga Adistia. Semerbak wangi parfum mewah langsung terhidu saat akhirnya sosok itu benar-benar berdiri di hadapannya.

"Siapa ini, Mas?" Berlian tersenyum manis saat menanyakan hal itu, tetapi aura permusuhan jelas terpancar dari matanya.

"Kamu pasti sudah bisa menebak, nggak perlu aku jelasin lagi, kan?" Jemari Evans yang sejak tadi menggenggam tangan Adistia kini terlepas, bergerak ke bahu gadis itu saat dirasa Adistia mulai gugup karena pandangan penuh intimidasi yang Berlian berikan.

"Ini Berlian, saudara kembar almarhum istriku," jelas Evans memilih untuk memandang wajah Adistia. Gadis itu mengangguk, sempat bingung karena wajah Berlian terlihat familier. Ternyata wajah yang sama baru saja dilihatnya di album foto tadi, hanya saja penampilan keduanya bak langit dan bumi. Berlian yang glamor, Mutiara yang begitu sederhana.

"Hai, aku Adis." Adistia menyorongkan tangannya, memberikan senyum terbaik hingga terlihat gigi gingsulnya. Awalnya gadis itu pikir Berlian akan mengacuhkannya seperti yang sering terjadi di sinetron, tetapi ternyata tidak, Berlian menyambut cepat uluran tangannya.

"Aku Lian, saudara kembar Mutia, sekaligus orang yang saat ini sangat dekat dengan keluarga Mas Evans." Ada nada peringatan, Berlian sengaja mengatakan itu untuk menegaskan jika posisinya tidak akan mudah untuk disingkirkan.

Adistia yang paham arti dari kalimat itu mengangguk, lalu menoleh pada Evans yang langsung mengusap bahunya sebagai isyarat jika semua akan berjalan baik.

"Ma, Evans antar Adis pulang dulu, ya. Udah malem." Evans kembali menggenggam jemari Adistia untuk diajak pergi. Sudah cukup memunculkannya di hadapan Berlian. Takut gadis itu akan berulah jika terlalu lama mereka berinteraksi.

Mama Evans yang sejak tadi hanya jadi penonton langsung mengangguk, memeluk tubuh Adistia dengan penuh sayang. "Kapan-kapan main lagi. Nggak harus sama Evans. Kalau kamu senggang langsung datang aja, ya. Pintu rumah ini selalu terbuka untuk kamu."

"Iya, Ma." Jawaban itu sempat membuat Berlian tersentak, tentu saja terkejut dengan panggilan yang Adistia berikan untuk mama Evans. Tidak menyangka jika kemunculannya di hari pertama bisa membawa perubahan sejauh ini.

"Ya udah hati-hati, ya, Vans," ujar Nawitri pada putranya yang langsung memberi anggukan.

Adistia sempat memberikan senyuman basa-basi pada Berlian sebelum menerima uluran tangan Evans yang sempat terlepas dari genggamannya tadi. Kali ini Berlian tidak membalas karena gadis itu sedang berusaha untuk menenangkan diri akibat rasa iri juga marah akan panggilan yang didengarnya muncul dari bibir Adistia tadi.

*

"Menurut Mas Evans, apa Berlian bakalan percaya?" tanya Adistia saat mereka sudah duduk di dalam mobil dalam perjalanan mengantarnya pulang.

Evans yang sedang menyetir memberikan senyuman, entah apa artinya. Namun laki-laki itu lalu berujar, "Semoga saja, untuk pastinya liat besok. Karena besok dia pasti bakalan datang ke kedai buat kasih pendapatnya."

Adistia mengangguk paham, lalu kembali menatap wajah Evans. "Kalau mamanya Mas?" tanyanya sedikit ragu. Sebenarnya ingin mengatakan kecurigaannya tentang mama Evans yang mungkin saja sudah mengetahui hubungan palsu mereka ini.

"Kamu memang nggak bisa ngerasa kalau mama suka sama kamu beneran?" Evans sempat menoleh ke Adistia sejenak sebelum kembali fokus pada jalanan di di depannya.

"Ngerasa, sih. Tapi ...." Adistia ragu untuk mengatakan kalimat selanjutnya yang sudah menggantung di lidah.

"Tapi kenapa?"

Adistia malah menggelengkan kepalanya. "Nggak papa," katanya dengan ringisan tipis.

"Untuk urusan mama nggak perlu terlalu dipusingin, yang penting sambutannya ke kamu baik. Itu aja udah cukup."

"Oke." Adistia mengangguk paham dan tidak melanjutkan pembahasan.

"Yang terpenting untuk saat ini adalah Berlian, semoga saja dia bisa diyakinkan," ujar Evans kali ini dengan nada ragu, juga khawatir.

*

Benar sesuai dugaan Evans, esok harinya Berlian dengan dandanan mewah seperti hari-hari biasa datang ke kedai. Dress ketat sebatas paha yang kali ini gadis itu kenakan berwarna hitam, ada tali emas yang melingkar di pinggang membuat tubuh ramping itu semakin terbentuk. Sembari melepas kaca mata hitam yang sejak tadi dikenakannya, gadis itu langsung mendekati Evans yang sedang berdiri meracik kopi di belakang meja bar.

"Aku belum percaya!" katanya tegas tanpa memperjelas maksudnya, tetapi Berlian yakin Evans paham apa yang dia maksud.

"Mau ngopi dulu biar tenang?" tawar Evans dengan gesture santai, menyesap kopi hitam yang baru selesai diracik dalam cangkir putih.

"Nggak usah bercanda." Berlian bersedekap, tidak memedulikan dua karyawan kedai yang kini berada di sekitarnya dan juga Evans.

"Mau percaya atau enggak itu urusan kamu, bukan urusanku."

Berlian berdecak kesal karena Evans seolah-olah tidak peduli dengan ketidakterimaannya ini.

"Lagian, kamu nggak denger tadi malam dia manggil mama dengan sebutan apa?" Evans kembali menyesap kopinya, kali ini sembari mengintip ekspresi yang Berlian tunjukkan. Dari cara gadis itu yang kini menekuk wajahnya, Evans tahu Berlian sudah mulai percaya dengan kebohongannya meski baru sedikit.

Tanpa merespon kalimat yang Evans katakan, Berlian memutuskan pergi begitu saja. Evans pikir gadis itu tidak akan mengganggunya dalam beberapa waktu, tetapi ternyata dia salah. Karena keesokan harinya Berlian masih terus saja datang seperti hari-hari biasanya.

"Aku lagi buktiin kalau dia itu beneran pacar Mas atau bukan, dan faktanya dia nggak lagi pernah datang ke sini selama beberapa hari ini, jadi itu artinya apa?" Jawaban yang Berlian berikan saat Evans menanyakan kepada gadis itu masih terus menganggunya padahal tahu jika dia sudah memiliki kekasih.

Evans yang kesal hanya bisa menahan diri untuk tidak terpancing oleh trik yang Berlian lakukan. Jalan satu-satunya untuk bisa menghadapi ini adalah kembali menghubungi Adistia dan membuat kesepakatan baru. Berharap gadis itu mau untuk meluangkan waktunya setiap hari agar mereka bisa terus bertemu. 

Mr. COFFEE and Miss COOKIEWhere stories live. Discover now