Bab 7. Kapan nikah?

81 20 22
                                    

"Adis!"

Adistia terkesiap oleh panggilan itu, seketika dunia senyap yang tadi dirasakanya menghilang. Ruangan kosong yang tadi hanya berisikan dirinya dan Evans tengah berpelukan, tergantikan suasana kedai yang cukup penuh dengan pengunjung. Dan, tunggu! Evans memang kini berdiri di hadapannya, tetapi laki-laki tidak sedang memeluknya, melainkan sedang menatapnya bingung. 

"Kamu nggak papa?"

Adistia mengerjab, mencoba mengingat apa yang terjadi tadi. Jadi semua itu hanya khayalannya saja? Wajah Adistia seketika memerah, dan segera menggelengkan kepalanya saat sadar sudah bertingkah konyol. 

"Maaf, Mas, tadi malem kurang tidur, jadi kurang fokus." Adistia meringis canggung, berharap Evans tidak memperpanjang pembahasan ini. Dan gadis yang menggerai rambut panjangnya itu mengembus napas lega saat Evans mengangguk, lantas mengisyaratkan untuk mengikutinya. 

Adistia segera menggerakkan kakinya untuk mengikuti Evans sebelum khayalan aneh lainnya muncul dan berakhir membuatnya mempermalukan diri. 

"Hari ini kita putuskan mau ke rumah kamu dulu, apa ke rumahku dulu," ujar Evans sembari memutar handle pintu kayu ruangan kerja pribadinya, mempersilakan Adistia masuk, lalu menutup pintunya dari dalam. 

"Coba kamu ceritakan detail gimana kondisi kamu saat ini," kata Evans lagi. Laki-laki yang hari ini tampak tampan dengan kemeja biru pendek dipadu kaos putih itu lantas duduk di sofa. Tempat biasa dirinya jadikan tempat tidur jika sedang malas pulang. Mengisyaratkan Adistia untuk duduk di tempat kosong sebelahnya. 

Adistia duduk dengan canggung di sebelah Evans, jangan tanyakan debar  jantungnya yang kini menggila. Mencoba menguasai gugup yang terus merajai, gadis itu mulai menceritakan bagaimana kondisi jelas apa yang akan mereka hadapi. 

"Kalau gitu urusan kamu sepertinya lebih genting." Tanggapan yang Evans beri setelah Adistia selesai bercerita. Gadis di sampingnya mengangguk, sembari diam-diam mengamati mata biru Evans yang dihiasi bulu mata lentik. "Kita ke rumah kamu dulu," putus Evans sembari berdiri. 

"Sekarang, Mas?" tanya Adistia bingung saat Evans berjalan ke meja kerjanya untuk mengambil kunci mobil.

Evans mengangguk, lalu berujar, "Lebih cepat selesai, lebih baik, bukan?"

Adistia tersenyum tipis untuk menanggapi kalimat tersebut. Kemarin-kemarin mungkin dia juga akan berpikir seperti itu, tetapi kali ini jika urusannya lama selesai sepertinya akan lebih baik karena jadi memiliki alasan untuk terus berinteraksi dengan Evans. 

"Oh, ya, tapi ayah sama bunda kamu di rumah, kan?" tanya Evans sembari melirik arlojinya yang saat ini menunjuk pukul empat sore. 

"Ada, Mas," jawab Adistia singkat, hari Minggu apalagi sore hari seperti ini ayah dan bundanya tidak akan berpergian ke mana pun tanpa ada alasan penting. 

*

Evans membawa beberapa bungkus kopi dari berbagai macam daerah yang pernah dirinya kunjungi. Tidak lupa mampir untuk membeli buah juga agar tangannya tidak kosong saat masuk rumah Adistia nanti. Hal yang sudah pernah dilakukannya dulu saat pertama kali datang menemui orang tua Mutiara. Namun kali ini  tentu saja berbeda karena rasa gugup itu tidak ada. Apa yang dikerjakannya hanya sebatas membantu gadis, yang kini tampak berdiri tegang di sampingnya. 

"Biasa aja, kalau kamu tegang gitu nanti malah ketahuan." Evans tertawa kecil karena ekspresi yang Adistia tunjukkan sungguh terlihat lucu di matanya. 

"Mas Evans kok bisa santai gitu, sih? Aku aja udah berasa mules bayangin ketemu ayah nanti." Adistia mengikat rambut panjangnya menjadi satu saat dirasa udara di sekitarnya mulai sesak karena gugup. Sudah hampir lima menit keduanya hanya berdiri di samping mobil Evans yang sudah terparkir di depan gerbang rumahnya. 

Mr. COFFEE and Miss COOKIEWhere stories live. Discover now