Bab 4. Pertemuan

92 23 23
                                    

Evans baru saja selesai meracik kopi untuk pelanggan saat Arman muncul dengan wajah lelahnya. Sahabatnya itu langsung duduk di kursi tanpa lengan depan bar, dan meminta satu es kopi. 

"Nih!" Arman menyorongkan ponselnya yang menunjukkan foto seorang gadis. "Namanya Adistia Kinanti, usia 28 tahun, masih lajang, kebetulan sahabatnya Namira, dan dia juga lagi butuh pacar pur—" Kalimat itu terpotong oleh isyarat yang Evans berikan melalui matanya. 

Tanpa mengatakan apa-apa, Evans meraih ponsel milik Arman sembari meminta tolong karyawannya untuk membuat es kopi pesanan Arman. 

"Lumayan manis anaknya, kalau gue bilang cantik nanti cewek gue cemburu," ujar Arman yang tidak ditanggapi Evans karena kalimatnya memang tidak penting. 

"Dia setuju?" 

Arman mengangguk, lalu menyeruput es kopi yang baru saja diletakkan di depannya. "Nggak mau dijodohin, makanya butuh juga." Berusaha tidak menyebut pacar pura-pura atau rahasia antara mereka ini terbongkar cepat. 

Evans mengangguk, lalu mengembalikan ponsel milik Arman. "Ya udah kalau dia mau."

"Gitu doang?" Arman mengernyitkan dahi, tidak puas dengan respon yang Evans berikan. 

"Terus mesti gimana? Yang penting dia mau, dan jelas asal-usulnya, itu aja kalau buat gue." Evans terlihat sangat cuek saat mengatakan itu. Tidak penting untuk urusan lain, yang terpenting baginya, ada gadis yang mau diajak untuk menjadi pacar pura-pura. Lagipula asal-usul gadis ini juga sudah sangat jelas. Tidak perlu ada yang diperdebatkan.

"Ya, seenggaknya komen kek, cantik enggak, pas enggak."

"Semua cewek pada dasarnya cantik, bilangin ke dia buat datang ke kedai besok pagi jam 8," jawab Evans sembari meninggalkan Arman untuk menerima telepon penting.

Arman yang mendapati sikap Evans hanya menggelengkan kepalanya lalu segera menghubungi Namira untuk menyampaikan pesan Evans. 

*

Namira : Besok jam 8 pagi lo ke alamat ini buat ketemu dia. 

Pesan yang Namira kirim semalam, di bawahnya tertera alamat sebuah kedai kopi milik Evans. Mengabaikan perasaannya yang campur aduk, pagi ini Adistia mencoba memilah baju yang menurutnya pas dan sopan untuk dikenakan. Blush berwarna pink dengan lengan sepanjang siku menjadi pilihan gadis itu, sementara bagian bawah Adistia memilih celana berwarna putih. Semoga tidak terlalu formal dan terkesan kaku. Padahal pertemuan ini adalah acara santai, entah mengapa Adistia harus merasa segugup ini. Apa karena yang akan dilakukannya adalah kebohongan terbesar pertama? Atau karena laki-laki yang akan ditemuinya bisa jadi adalah orang itu. Namun, bagaimana mungkin ada kebetulan sebesar itu di dunia ini?

Mengabaikan perasaannya yang mendadak resah, Adistia segera mengenakan baju yang tadi sudah dipilihnya. Membiarkan rambut lurusnya tergerai begitu saja, lalu memilih tas selempang kecil untuk tempat dompet serta ponsel. 

Gadis bertubuh ramping itu mencoba mengatur napasnya. Bercermin di depan kaca rias untuk meyakinkan diri jika penampilannya sudah pas. Dalam angan merasa sangat berdosa karena sudah merencanakan kebohongan besar untuk orang tuanya. Bagaimana kalau semuanya terbongkar? Bagaimana kalau—tidak, Adistia kembali memantapkan hati jika semua ini sudah menjadi keputusan paling tepat. Satu-satunya cara agar dia tetap bisa melanjutkan usaha kuenya yang sedikit lagi akan berhasil membuka toko fisik, dan juga lepas dari bayang-bayang perjodohan dengan Bisma. Memang terkadang harus ada hal besar yang harus dikorbankan untuk mendapatkan keinginan yang lebih besar. 

Adistia tidak tahu itu istilah tepat baginya atau tidak. Dan sebelum pikirannya melantur ke mana-mana, diambilnya sneakers putih yang berada di rak sepatu untuk dikenakan. Melangkah dengan penuh percaya diri keluar dari rumah, gadis itu sekali lagi meyakinkan diri jika ini adalah keputusan paling tepat untuk masa depannya. 

*

BUCIN COFFEE. Nama itulah yang terpampang di plang nama kafe tempat Adistia kini menjejakkan kakinya. Mata bulat gadis itu mencoba melihat kondisi di dalam, sebelum akhirnya mendorong pintu kaca gelap di depannya. Terdengar bunyi lonceng di atas pintu, dan sapaan dari seseorang menyambut kehadirannya. Suasana kedai masih sepi karena waktu buka kedai masih sekitaran dua jam lagi. 

"Kak Adisti, ya?" tanya pemuda yang kini berdiri di belakang bar kedai itu. Adistia pun menjawab dengan anggukan serta senyuman ramah. 

"Saya cari Pak Evans." Sebenarnya Adistia bingung harus memanggil teman Arman itu dengan sebutan apa. Di matanya laki-laki bernama Evans ini terlihat seperti sudah berusia 40 tahunan lebih, meskipun Namira sudah meyakinkan jika usianya sama dengan Arman. Mungkin karena berewok tebal yang menghiasi wajahnya di foto yang Namira tunjukkan beberapa waktu lalu. Apakah penampilannya sekarang masih seperti itu? Jika ya, Adistia jadi agak ragu untuk menjadikan laki-laki ini sebagai pacar pura-puranya. 

"Kakak duduk saja dulu, Mas Evansnya bentar lagi sampai."

Adistia kembali menganggukkan kepalanya, lalu mengayunkan kaki ke salah satu meja, menarik satu kursinya dan duduk dengan tenang. Sembari menikmati alunan musik pop Indonesia yang terputar pelan melalui pengeras suara, gadis itu mengedar pandangnya pada interior kedai yang dibangun dengan gaya klasik bernuansa abu-abu.

Kata Namira kedai kopi ini sedang menjadi hits di kalangan pecinta kopi. Bukan hanya karena racikan kopinya yang memiliki rasa khas, tetapi juga karena tempatnya yang menyediakan spot foto untuk anak muda mengambil gambar. Iris hitam Adistia pun mulai merekam penampakan sudut demi sudut kafe yang memang menyediakan tempat untuk ber-swafoto. Ada tulisan motivasi yang dituliskan dengan gaya unik juga artistik di salah satu sudut, sementara sudut lain memasang beberapa miniatur kendaraan zaman dulu yang ditempel cantik di dinding. Jika tidak sedang menjaga image, rasanya Adistia ingin berlari ke salah satu sudut ruangan untuk mengambil foto. Namun gadis itu memilih duduk tenang di bangkunya sampai orang yang ditunggu datang. 

"Minum dulu, Kak." Karyawan kedai yang sudah mengganti kaos putih polosnya dengan seragam kedai berwarna cokelat dengan tulisan Bucin Coffe di dada bagian kanan itu, menyorongkan segelas lemon tea untuk Adistia. 

"Takutnya nggak suka kopi," ujar pemuda berkaca mata itu lagi sebelum Adistia menjawab. 

"Iya, memang nggak terlalu suka," jawab Adistia. "Thanks, ya. Oh, ya, Pak Evansnya masih lama?"

"Katanya sudah di lampu merah depan. Tunggu bentar lagi aja, ya, Kak."

Adistia pun mengangguk dan sekali lagi mengucapkan terima kasih untuk minuman yang disiapkan untuknya. Sesekali mengecek arloji yang melingkar di tangannya. Menunggu memang sesuatu yang sangat membosankan jika dilakukan seorang diri seperti ini.

"Itu Mas Evansnya udah dateng, Kak!" seru karyawan kedai yang sudah kembali ke belakang bar  sembari menunjuk mobil yang berhenti di luar kedai. 

Mata Adistia pun segera bergerak ke tempat yang ditunjuk, tampak seorang laki-laki turun dari dalam mobil, melangkah ke arah kedai. Jantung Adistia tiba-tiba saja berdegup saat suara lonceng di atas pintu berbunyi berbarengan dengan terbukanya pintu kedai. Apalagi saat senyum seorang laki-laki dengan wajah bule langsung menyapanya. 

Adistia sudah nyaris menyunggingkan senyum untuk membalasnya, tetapi saat ingatan masa lalu menerjang isi pikirannya, senyum itu menghilang. Berganti dengan degup jantungnya yang semakin bertalu saat melihat bagaimana rupa sosok yang menghampirinya.


Mr. COFFEE and Miss COOKIEDonde viven las historias. Descúbrelo ahora