Bab 31. Dukungan Sahabat

64 11 0
                                    

"Mau ke mana, sih? Gue mager, pengin tidur." Adistia menahan diri dengan berpegangan pada pintu rumahnya. Hari ini sengaja mengambil libur untuk membuat kue karena dirasa badannya sudah nyaris tidak lagi bisa menanggung rasa lelah.

Namira yang sejak tadi memaksa Adistia untuk bangkit dari kasurnya masih menarik lengan sahabatnya itu. Beradu kekuatan, keduanya memiliki tinggi yang sama, hanya saja badan Namira lebih berisi.

"Jangan ngerem di rumah mulu, Dis. Keluar bentaran aja." Adegan tarik-menarik itu masih terjadi. Beruntung kedua orang tua Adistia sedang keluar untuk mendatangi acara pernikahan teman, jika tidak pasti kelakukan dua gadis itu sudah membuat bingung.

"Nggak mau, Mir. Gue mau tidur, gue capek." Adistia yang merasa akan kalah dengan adu kekuatan ini memilih berlutut, memohon dengan matanya agar Namira mau melepaskan. Akan tetapi sahabatnya itu malah menggeleng keras kepala.

"Ada kafe baru buka, nggak jauh kok. Tempatnya enak buat nongkrong. Ayo!" Namira masih memegang lengan Adistia, tetapi tidak menariknya karena sang sahabat juga sudah tidak lagi memiliki tenaga untuk melawan.

Suara klakson mobil menggema bersamaan dengan teriakan Arman yang sudah mulai jengah menunggu. "Ngapain sih pada kayak bocah? Kalau masih nolak terus gue gendong nih!"

Mata Adistia tentu saja melebar, gadis itu terpaksa bangkit dan tidak lagi berniat menolak. Arman itu terkadang tidak main-main dengan omongannya. Adistia yang takut laki-laki itu nekad menggendongnya, memutuskan untuk memenuhi keinginan dua pasangan menyebalkan ini. Meski tahu tujuan Arman dan Namira baik, tetapi tetap saja Adistia sungguh sedang malas untuk berinteraksi dengan dunia luar.

"Mumpung belum lumutan, lo harus nyapa tuh udara segera di luar." Celetukan yang Arman lontarkan saat Adistia dan Namira akhirnya sudah duduk di bangku masing-masing. Namira di depan, tengah mengulum senyuman geli. Sementara Adistia di bangku belakang, memasang wajah cemberut dan mendelik kesal pada Arman yang memberikan tanggapan tidak peduli.

"Lagian patah hati ngerem mulu di rumah, ngefek apa?" Kali ini Namira memukul pelan bahu sang tunangan saat dirasa kalimatnya tidak tepat. Melirik ke belakang, dilihatnya Adistia hanya diam sembari menarik napas. Namira tahu Adistia belum berhasil melupakan sosok Evans meski sudah melampiaskannya pada pekerjaan.

*

Sesampainya di kafe yang kata Namira baru buka itu Adistia hanya memesan segelas cokelat panas. Memilih duduk di sofa panjang yang disediakan, mata gadis itu terus menatap ke luar jendela di sampingnya. Tidak ada pemandangan menarik, selain para pejalan kaki yang tampak hilir mudik. Namun saat ini Adistia benar-benar sedang tidak ingin melakukan apa pun. Jika boleh memilih dia ingin merebahkan diri di kasur, memejamkan mata jika bisa.

Arman yang melihat tingkah Adistia yang mendadak jadi pendiam, memberi isyarat pada tunangannya untuk mengajak berinteraksi. "Jangan dibiarin diem, nanti takutnya kesurupan," celetuknya asal.

Tanggapan yang Namira beri tentu saja decakan kesal, Arman memang kadang tidak tahu situasi yang tepat untuk bercanda.

"Kalau gue kesurupan, kan, ada lo, pawang setan." Adistia menyahut dengan wajah memberengut kesal. Sementara Namira yang biasanya ikut menyahut kali ini hanya diam sembari menahan tawa.

"Nggak di kedai, nggak di sini, pemandangannya butek semua," celetuk Arman lagi. Laki-laki itu mengeluarkan ponselnya untuk memulai bermain game.

Adistia tentu saja langsung menoleh ke arah Arman saat mendengar celetukan itu. Maksudnya kedai itu, kedai kopi?

"Kenapa? Penasaran?" Arman tersenyum miring dengan mata melirik sekilas pada Adistia yang mendadak menunjukkan ekspresi lain setelah dirinya menyebut kata kedai. "Iya, memang kedai kopi itu yang gue maksud. Lo sama Evans sama-sama kacau."

Mr. COFFEE and Miss COOKIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang