42 - Tanpa berpamitan

283 49 12
                                    

Mesin elektrokardiogram berbunyi, dalam layar memperlihatkan tampilan garis lurus panjang. Dokter dan para perawat menghembuskan nafas berat lalu menundukkan kepala mereka.

"Dok, coba periksa lagi," ucap salah satu perawat.

Dokter itu memeriksa denyut nadi dan pernapasan Yoongi. Namun, hasilnya tetap sama. Mesin elektrokardiogram sudah sangat menjelaskan apa yang terjadi.

Salah satu perawat lainnya membukakan pintu, dokter itu keluar dari ruangan dan menghampiri Asahi dan lainnya.

"Dok, apa yang aku liat gak bener kan, dok? Iya kan, dok?" tanya Ryujin lirih.

Dokter itu tidak langsung menjawabnya, ia sempat melihat pada jam digital yang terpasang di dinding. Sebelum benar-benar berkata, dokter itu menghembuskan nafas berat.

"Tepat pukul dua puluh satu lebih lima puluh menit malam. Pasien bernama bapak Yoongi dengan usia 48 tahun, dinyatakan meninggal dunia. Saya dan para medis rumah sakit mengucapkan turut berbelasungkawa."

"Ibu," ucap Woozi sembari menahan tubuh Yoojin yang hampir terjatuh setelah mendengar apa yang dikatakan oleh dokter.

Yoshi terdiam, ia masih tak menyangka dengan apa yang baru saja ia dengar. Bukan hanya Yoshi, Asahi dan Ryujin sangat terkejut. Bahkan Ryujin lari masuk ke dalam ruangan Yoongi. Melihat Ryujin lari, Asahi segera menyusul.

"Nak."

Yoojin mulai menangis, Woozi memeluk ibunya sembari mengusap punggung ibunya pelan. Kabar kematian, adalah kabar yang tidak pernah ingin didengar oleh siapapun.

"Ayo kita masuk ke dalam, bu."

"Yoshi," lanjut Woozi sembari menarik pelan tangan adiknya.

Yoshi tak bereaksi sedikitpun, ia berjalan dituntun oleh Woozi namun tatapan matanya kosong. Kini Woozi, Yoojin dan Yoshi sudah masuk ruangan. Ryujin memeluk tubuh Yoongi, sedangkan Asahi berdiri di samping Ryujin.

"Papah, aaaaaaa. Enggak, papah gak boleh pergi! Papah jangan tinggalin Ryu sendirian! Papah, aaaaaaaa!"

Asahi meremas ujung kemeja yang ia pakai untuk menahan sedihnya. Dadanya terasa sakit, ternyata ia tidak bisa menerima kenyataan ini. Ia tidak ingin Yoongi pergi, bahkan tanpa berpamitan sama sekali.

Yoojin menangis dalam pelukan Woozi, sedangkan Yoshi masih terdiam. Namun sekuat apapun ia tahan, akhirnya Yoshi menangis juga.

Menangis dan memohon agar Yoongi tidak pergi, rasa-rasanya hal itu tidak cukup untuk mengekspresikan apa yang Ryujin rasakan saat ini. Dadanya amat sesak, kepalanya pening dan tentu saja hatinya sangat hancur.

"Pah bilang sesuatu, pah. Papah, gimana Ryu bisa jalani semua ini tanpa papah, aaaaaa. Ryu mohon bangun pah, bangun aaaaaaa."

"Gimana sama janji papah? Papah janji bakalan nemenin aku tiap hari liat sunset, pah. Papah juga bilang pengen liat aku sama Asa wisuda. Papah...."

Asahi menyentuh bahu Ryujin, ia berusaha menenangkan adiknya. "Ryu, ikhlasin papah."

Seolah Asahi sudah mengikhlaskan Yoongi pergi. Namun, nyatanya tidak. Perasaannya juga sangat hancur.

Malam ini seperti mimpi buruk untuk Asahi dan lainnya. Mereka percaya, tiada yang tidak mungkin bagi Tuhan. Mereka meyakini Tuhan pasti mendengarkan doa-doa yang mereka panjatkan untuk kesembuhan Yoongi. Namun...

Tidak adil dan murka, itulah yang Asahi dan lainnya rasakan saat ini. Tak semudah itu mengikhlaskan orang tersayang pergi selama-lamanya.

*

Pemakaman diadakan besok harinya. Kabar duka ini diberitahukan kepada keluarga Rosé, teman-teman Yoongi, perusahaan, rekan perusahaan, serta Jieun dan Gaeul. Sedari pagi kediaman Yoongi sudah ramai dikunjungi para pelayat untuk mendoakan mendiang.

My Dearest Twin - Asahi RyujinWhere stories live. Discover now