Sembilan

194 8 0
                                    

"Lu kenapa, woi?!" bukannya menjawab ucapan Zyan, tubuh Berlin semakin bergetar kencang dan perlahan-lahan menutup matanya.

Zyan yang melihat Berlin menutup mata langsung panik dan sesekali menepuk pipi Berlin. Zyan meletakkan telapak tangannya di dahi Berlin, dan yang Ia rasakan adalah panas tubuh Berlin yang membakar telapak tangannya.

"Anjir! Panas banget." Zyan segera memperbaiki posisi Berlin dan langsung melajukan mobil yang Ia tumpangi menuju hotel.

Tidak butuh waktu lama Zyan tiba juga di hotel, Ia segera mengangkat tubuh Berlin kedalam gendongannya dan langsung memasuki hotel tanpa memperdulikan tatapan heran para karyawan hotel yang menatapnya bingung.

Setibanya di dalam kamar hotel miliknya, Zyan segera membaringkan tubuh Berlin di atas kasur miliknya.

"Duh! Ini gimana sih? Apa telepon dokter Bima aja?" Zyan bingung, Ia tidak tahu apa yang akan Ia lakukan untuk membuat Berlin tersadar.
Setelah lama berpikir akhirnya Ia mengambil keputusan untuk menelepon dokter Bima. Dokter Bima adalah salah satu dokter kepercayaan keluarga mereka.

"Halo dok! Bisa ke hotel papa gak? Soalnya di sini ada yang sakit." Zyan segera meminta dokter Bima untuk menuju hotel milik papanya.

"Baik Zyan." jawab dokter Bima cepat.

Setelah menelepon dokter Bima, Zyan kembali menuju kasur yang sudah di tempati oleh Berlin, Ia berdiri di sisi ranjang dan memperhatikan Berlin dengan saksama, lama menatap Berlin sehingga Zyan merasakan ada getaran di dalam dirinya.

"Perasaan apa ini?" Zyan memegang dadanya sembari menatap Berlin yang masih belum sadarkan diri.
"Ah, mungkin cuma perasaan kasihan. Tapi, apa iya seorang Zyan memiliki rasa kasihan?" Zyan bergulat dengan pemikirannya sendiri, Ia merasakan ada sesuatu yang membuat dirinya bergetar, tapi Ia tidak tahu perasaan apa itu.

Lama menatap Berlin sehingga lamunannya terbuyarkan dengan suara bel yang berbunyi.
Zyan segera bergegas membuka pintu, dan yang Ia lihat adalah seorang pria dengan jas putih yang tak lain adalah dokter Bima.

"Ayo masuk, dok." tanpa basa-basi Zyan segera membawa dokter Bima menuju tempat di mana Berlin berada.

"Tolong periksa dia ya, dok." ujar Zyan pada dokter Bima yang hanya berdiri menatap Berlin dengan tatapan bingung.

"Ini siapa, Zyan?" tanya Bima heran, Ia tak pernah melihat wanita ini, apa ini salah satu keluarga Dirgantara? Tapi setahu Bima, keluarga Dirgantara tidak memiliki anak perempuan, hanya Zyanlah satu-satunya anak dari Dirgantara.
Bekerja cukup lama dikeluarga ini membuat Bima hafal seluk-beluk keluarga Dirgantara, terkadang ayah dari Zyanpun bercerita kepadanya, jadi wajar jika Bima tahu sedikit tentang keluarga Dirgantara.

"Ah, ini teman Zyan dok." ucap Zyan dengan cepat, Ia tidak ingin dokter Bima tahu tentang Berlin, jika dokter Bima tahu apa yang telah dilakukannya pada gadis ini bisa jadi dokter Bima akan memberitahukan kepada ayahnya.

"Baiklah Zyan." melihat gerak-gerak Zyan yang mencurigakan membuat Bima mengalihkan pembicaraan, bisa saja gadis ini kekasih Zyan, bukan?

Bima segera memeriksa Berlin yang masih belum sadarkan diri dan sesekali melihat Zyan yang juga menatapnya bingung.

"Apakah dia belum makan sedikitpun?" ujar Bima setelah memeriksa Berlin yang masih belum sadarkan diri.

Mendengar ucapan dokter Bima, Zyan mencoba berpikir dan ya, Berlin memang belum makan sedikitpun setelah pulang dari sekolah dan Ia juga membawa Berlin keluar dengan baju yang sangat terbuka.

"Aku tahu, maka dari itu gadis ini pingsan. Dan sepertinya gadis ini juga masuk angin, apa kamu baru saja membawanya keluar dengan baju yang seperti ini?" Bima menatap tubuh Berlin yang diselimuti selimut tebal dengan pakaian yang terbuka di bagian lengan.

Zyan yang mendengar pertanyaan dokter Bima hanya bisa terdiam dan sesekali menganggukan kepalanya pertanda bahwa apa yang diucapkan oleh Bima adalah benar.

Bima mengelengkan kepalanya ketika mendapatkan jawaban Zyan yang menganggukan kepalanya.
"Hm, tak apa, Zyan. Pokoknya nanti kalau Ia sudah sadar tolong berikan Ia bubur dan ini obat penurun panas, berikan kepadanya jika sudah sadar." Bima menyodorkan obat di tangannya dan memberikan kepada Zyan.

"Terimakasih, dok." ucap Zyan setelah menerima obat yang diberikan Bima kepadanya.

"Baiklah saya pulang dulu. Jangan lupa berikan dia obat." Bima berpamitan pada Zyan setelah memberikan obat.
Zyan mengangguk dan Langsung mengantar Bima sampai di depan pintu kamar hotel miliknya.

Setelah mengantar dokter Bima, Zyan kembali ke dalam kamar dan menatap Berlin dengan tatapan yang tak bisa diartikan.

"Dasar gadis yang merepotkan!" Zyan melangkahkan kakinya menuju sofa dan membaringkan dirinya.

BERSAMBUNG

Hai! Bagaimana menurut kalian part yang ini? Apakah sudah menggambarkan bagaimana kelanjutannya? 😁

Jangan lupa tinggalkan jejaknya🤗🙏

Mengagumi Gangster SekolahWo Geschichten leben. Entdecke jetzt