Dua Puluh Tiga

Magsimula sa umpisa
                                    

Dengan kedua siku bertumpu di atas paha, Adifa mengusap wajahnya. Ia memikirkan dari mana ia akan mulai menjelaskan. Saat mulutnya terbuka untuk menjawab, suara kedatangan seseorang lebih dulu menginterupsi.

“Bang!” panggil Ridan yang buru-buru masuk ke ruang tengah, dengan Moza di belakangnya.

Adifa hanya menoleh sekilas ke arah Ridan, lalu beralih pada Moza yang langsung menghambur duduk di sebelah Zita. Sekali lihat, ia langsung mengenali jika gadis itu adalah gadis dalam rekaman cctv yang Ridan minta selidiki tempo hari.

“Kok kalian bisa ke sini?” tanya Zita sambil menatap Moza, Ridan, lalu pada Adifa.

“Dia adik gue,” terang Adifa seraya menggerakkan dagu ke arah Ridan.

Pertanyaan Zita beberapa saat yang lalu, akhirnya terjawab. Ia lantas menoleh pada Moza.

“Gue lagi sama Ridan waktu dapat kabar kalau lo pingsan,” jelas Moza.

Ucapan Moza membuatnya tersadar akan jadwal konsultasi yang sudah ia lewatkan. Sudah lebih satu jam dari janji temunya, sang psikolog pasti sudah menghubungi tantenya karena Zita batal datang tanpa mengabari.

“Tas dan hape gue di mana?” tanya Zita pada Adifa.

Belum juga Adifa menjawab, gedoran kasar tiba-tiba terdengar dari arah pintu luar. Ridan yang masih berdiri lantas beranjak untuk membuka pintu. Seketika matanya melebar saat mengetahui siapa yang datang.

“Kok lo bisa ke sini?” tanya Ridan kebingungan, pasalnya selama ini, ia tak pernah memberikan alamat rumahnya pada siapa pun. Bahkan alamat yang ia cantumkan di sekretariat adalah alamat fiktif.

"Mana Zita?" todong Theo tanpa basa basi.

Kening Ridan berkerut. Dari mana Theo tahu jika Zita ada di rumahnya?

"Gue tanya, DI MANA ZITA?!" bentak Theo tak sabaran.

“Zita ada di dalam,” jawab Moza yang menyusul di belakang Ridan.

Theo langsung menerobos masuk, meninggalkan Ridan yang kini beralih menatap Moza. “Lo yang ngasih tahu dia?”

“Tanpa gue kasih tahu, Theo pasti tahu kalau Zita ada di sini,” jawab Moza dengan raut datar.

Ridan memicing, kemudian menjentikkan jari saat memahami sesuatu. “Partner lo, itu Theo?”

Moza hanya menatapnya dingin, kemudian kembali masuk ke ruang tengah.

“Cukup sekali kalian melibatkan Zita dalam bahaya.” Di ruang tengah, Theo sudah mencekal tangan Zita dengan menatap tajam pada Adifa. “Kali ini, selesaikan urusan kalian sendiri.”

Moza mendekati Theo. “Gue rasa, lo perlu dengerin penjelasan mereka dulu.”

Theo mendengkus tak percaya. “Lo sekarang ada di pihak mereka?”

“Nggak ada pihak A atau pihak B di sini,” tegas Moza. “Gue hanya merasa kalau lo perlu dengerin penjelasan mereka lebih dulu.”

“Lo lupa apa yang terjadi setahun yang lalu?” tanya Theo sebelum mengalihkan pandangannya pada Adifa dan Ridan secara bergantian. “Zita hampir mati gara-gara mereka.”

Saat Moza akan menyahuti perkataan Theo, Zita lebih dulu bersuara. “Di mata lo, gue pasti terlihat lemah ya, Yo?”

Theo sontak menoleh. Ia menatap lekat pada Zita. Tak pernah sedikit pun ia berpikir seperti itu. Ia melihat sendiri bagaimana Zita tumbuh dan bertahan dari semua kekacauan yang Mila dan Sherly buat. Yang ia lakukan sekarang hanya untuk melindunginya. Ia tidak mau nyawa Zita berada dalam bahaya untuk kedua kalinya.

Zita tersenyum miris. “Gue emang lemah. Gue sadar, gue bisa terlibat dalam bahaya kalau ngotot mencari tahu apa yang Mila lakukan. Gue mungkin akan terluka kalau ingatan yang selama ini Mila simpan, akhirnya berhasil gue ingat.” Zita menelan saliva untuk melegakan tenggorokannya yang tercekat. “Tapi, gue harus tahu lebih banyak, biar gue bisa bertambah kuat. Bukannya hanya dengan cara itu, gue bisa hidup tanpa membutuhkan kehadiran Mila lagi?”

Meski ada kilatan air mata, Theo melihat sorot mata Zita menunjukkan kebulatan tekad yang tak dapat ia ganggu gugat. Theo lantas mengalihkan pandangannya. Matanya berkedip beberapa kali, seraya menipiskan bibir. Ia masih ragu akan keputusan yang Zita buat. Untuk sejenak ia menimbang, hingga akhirnya ia menghembuskan napas berat lalu menoleh pada Adifa.

“Jelasin semuanya dari awal.”

...

Tbc

...

GLOSARIUM

*Coping mechanism adalah strategi yang digunakan seseorang untuk membantu mereka mengatur emosinya ketika dihadapkan pada situasi sulit seperti stres, tekanan atau trauma psikologi. Pada orang dengan kepribadian ganda, coping mechanism ini dilakukan dengan ‘memutus’ kesadaran diri sendiri dari situasi atau pengalaman yang terlalu traumatis atau menyakitkan.
(Wikipedia dan riliv)

*Core : Kepribadian asli. Dalam DID biasanya disebut sebagai host, tapi ‘host' sendiri sebenarnya mengacu pada kepribadian yang paling sering muncul/fronting. Untuk sekarang posisi host masih diduduki oleh Zita selaku core, tapi tidak menutup kemungkinan—jika posisinya sudah parah—host bisa ditempati oleh alter lain.
(Penderita DID dan medium.com)

...

Padahal cuma 1000 kata, tp kok rasanya panjang banget, ya?

Sejujurnya aku stres karena beberapa part terakhir alurnya agak berat, next part aku buat yg sedikit lebih entenglah.

Sedikiiiiittt...
Wkwk

120232

Oops! Ang larawang ito ay hindi sumusunod sa aming mga alituntunin sa nilalaman. Upang magpatuloy sa pag-publish, subukan itong alisin o mag-upload ng bago.

120232

My True Me (END)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon