☔. kepingan masa lalu, vii.lana

15 4 0
                                    

Aku pernah mendengar entah dari novel atau quotes di sosmed. Konon katanya, manusia itu mudah sekali berubah, semudah membalikkan telapak tangan. Awalnya aku tidak percaya, sebelum aku merasakannya sendiri sekarang. Hari-hari yang sebelumnya indah, entah kenapa tiba-tiba menjadi begitu suram. Orang-orang yang awalnya menerima dengan hangat, tiba-tiba memunggungi dengan dinginnya.

Tapi anehnya, ada satu orang yang sama sekali tidak berubah. Bagas, dia masih tetap aneh sama seperti waktu kita pertama kali bertemu. Entah anak ini memang tidak tahu dengan gosip yang beredar atau dia sebenarnya tahu tetapi sengaja pura-pura tidak tahu, entahlah.

Aku menghela napas panjang, "hidup itu berat ya." Gumam ku pelan.

"Pfftt-"

Tawa Bagas meledak. Aku sontak memandangnya dengan tatapan terganggu, 'ni anak kenapa dah?' pikirku.

Selang beberapa menit, tawa Bagas akhirnya mereda. Aku hanya menatapnya datar, memang apa salahnya dengan perkataan ku? Wajar saja bukan jika manusia bisa merasa lelah? Anak ini saja yang aneh.

"Wkwkwk lo itu masih SMP njir, masih bocil, jalan lo masih panjang. Kedepannya lo masih harus masuk dunia SMA, perkuliahan, nyari kerja, nikah, ngurus keluarga dan lain-lain. Kalau lo segitu doang aja udah ngerasa capek, terus kedepannya gimana? Emang lo mau jualan cilok kayak mang Asep?" Ceramah Bagas panjang lebar, walaupun setengahnya dia mengejekku.

Aku seketika terdiam. Perkataan Bagas memang ada benarnya, tapi aku merasa konteks kehidupan yang dia bicarakan agak berbeda dengan apa yang ku maksud. Yah, terserah lah, aku malas menjelaskan. Bagas masih mau berteman denganku saja sudah seperti keajaiban.

"Yeee, gitu-gitu jualan mang Asep tiap hari laris manis. Lo sendiri kan pelanggan setianya." Aku membalas ejekannya dengan setengah bercanda. Kemudian kami tertawa bersama, saling melempar ejekan, tertawa lagi, mengejek lagi, dan tertawa lagi sampai akhirnya kami merasa lelah dan terdiam.

Ditengah-tengah keheningan tersebut aku dilanda dilema. Aku ragu, haruskah aku mengucapkan hal ini ke Bagas atau tidak. Aku tebak mungkin anak ini akan menganggap ku tengah bercanda. Atau... mungkin dia malah bersyukur? Setidaknya setelah ini tidak ada orang yang mengganggu tidur nyenyak nya di perpustakaan, setelah ini dia tidak perlu menanggapi ocehan ku yang tidak jelas, setelah ini dia tidak perlu menghiburku yang datang kepadanya saat merasa sedih saja, setidaknya setelah ini...

Tanpa terasa air mataku telah mengalir begitu deras. Aku secepat mungkin mengusapnya, namun air mataku tidak kunjung berhenti juga, malahan rasanya semakin deras.

Apa-apaan ini? Kenapa aku menangis? Padahal... padahal kami baru bertemu beberapa hari yang lalu. Padahal kami belum sedekat itu, lantas kenapa? Apakah karena beberapa hari ini aku terus memendam air mataku hingga akhirnya aku tidak kuat dan meledakkannya? Tapi kenapa harus meledak didepan Bagas? Aku malu, sangat malu.

"Lan...? Lo kenapa? Kok nangis?" Bagas menatapku khawatir. Tangannya terlihat seperti akan menggapai wajahku, namun ia urungkan.

"Gua? Gara-gara gua ya? Maaf, gua gak bakalan ngejek lo lagi. Jadi jangan nangis ya." Kali ini Bagas benar-benar menggapai wajahku, dia dengan telaten mengusap air mata yang membasahi pipi ku. Entah kenapa ada perasaan menggelitik yang menyerang hatiku, seolah ada banyak kupu-kupu beterbangan yang hinggap di sana.

Aku segera mengesampingkan hal tersebut dan menggeleng cepat. Tidak, Bagas samasekali tidak bersalah, hanya saja aku yang hari ini terlalu emosional.

Aku menarik napas sedalam-dalamnya, "G-gak, lu... lu gak salah kok, Gas. Gue cuman..." Jelas ku dengan sesenggukkan beberapa kali. Aku kemudian menunggu hingga sesenggukan ku sudah agak mereda, rasanya sulit menjelaskan dengan sesenggukkan yang mengiringi.

"Besok gue harus pindah. Gue minta maaf kalau selama ini gue suka gangguin lu, suka ngerepotin lu, suka tiba-tiba curhat. Dan makasih buat waktu singkatnya. Gue bener-bener bersyukur bisa kenal sama lu, Gas." Usai berkata demikian, kini aku memberanikan diri untuk menatap matanya. Kulihat wajahnya nampak kaget, tidak percaya, kebingungan, campur aduk menjadi satu.

Bagas menunduk dalam, tangannya mengepal erat. "Kenapa...? Sebenernya kenapa...? Apa gara-gara gosip itu? Gak semua orang percaya Lan. Gue Bagas Arsalan Putra, satu-satunya orang disini yang yakin kalau lu gak mungkin ngelakuin hal kayak gitu!" Ia mendongakkan kepalanya dan berseru kepadaku.

Namun lagi-lagi aku hanya menggeleng. "Bukan, malahan sekarang gue udah gak mau peduli lagi sama gosip-gosip gak jelas itu. Orang tua gue cerai, Gas. Dan gue harus ikut Mama yang rumahnya lumayan jauh dari sini."

Bagas nampak terkejut. Yah, pantas saja. Aku tidak pernah menceritakan masalah keluarga ku pada siapapun, dan orang-orang juga nampaknya berpikir bahwa aku hanya anak biasa dengan keluarga harmonis. Padahal nyatanya, rumahku begitu berantakan hingga berada di sana saja sudah membuatku muak.

"Meskipun... lo pindah sekalipun, bukan berarti kita gak bakalan ketemu lagi kan?" Ucap Bagas penuh harap.

"Tentu..." Jawabku antara yakin tidak yakin. Lantas aku tersenyum, senyum terakhirku ditempat ini, kurasa tidak begitu buruk.















☔☔☔
















Saat aku berjalan di lorong, hendak kembali ke kelas. Tiba-tiba seseorang menghadang ku, orang yang saat ini sangat tidak ingin untuk aku temui yang lain dan tak bukan adalah Keisha.

Netra kami saling bertatapan. Keisha kemudian menemukan mata ku sembab dan tersenyum puas, seolah-olah dia telah menunggu saat ini tiba.

"Murahan ew, liat deh dia ngejilat ludahnya sendiri." Celetuknya dengan memasang wajah meremehkan.

Beberapa hari ini anak ini akhirnya menampakkan sosok aslinya. Aku terkejut, bahkan amat sangat. Setiap kali dia berpapasan denganku, tak terlewatkan satupun kata-kata menusuk darinya. Aku awalnya selalu berusaha untuk membalas ejekannya. Namun semenjak Keisha membawa antek-anteknya, jangankan membalas, membuka mulut saja rasanya sangat sulit. Mereka bertiga, sedangkan aku hanya satu. Mau berusaha sekeras apapun, aku sudah dipastikan akan kalah.

Kini aku telah terbiasa untuk tidak memedulikan mereka. Toh pada akhirnya mereka akan merasa kelelahan sendiri. Tinggal dibiarkan, beres.

Pada akhirnya aku tahu, dari awal Keisha memang tak pernah sekalipun tulus mau berteman denganku. Dia itu hanya kasihan. Buktinya, gosip tentangku yang sudah beredar dari lama memang siapa lagi yang menyebarkannya?

Gosip tentang aku yang sombong lah, merasa paling unggul lah, merasa levelku paling berbeda, dan lain sebagainya. Aku benar-benar yakin 100% bahwa Keisha lah pelaku yang menyebarkan gosip-gosip omong kosong tersebut.

"Kok diem aja? Kenapa? Takut ya?" Ejeknya sekali lagi yang sayangnya samasekali tidak ku gubris.

Tenang... aku baik-baik saja. Ini tidaklah seberapa dibanding ejekannya kemarin-kemarin yang lalu. Aku masih kuat, aku tidak boleh terpancing.

Keisha yang sedari tadi diabaikan olehku akhirnya merasa kesal, ia kemudian berdecak."Ris, mending lu pergi aja deh dari hadapan gue, atau gak sekalian aja menghilang dari bumi. Gue muak liat muka lu."

Tak mau kalah, aku menatapnya tajam. "Tanpa lu bilang begitu pun gue juga bakalan pergi dari hadapan lu." Usai berkata demikian, aku melangkah pergi. Membiarkan Keisha dan para antek-anteknya menggeram kesal.

Sekali-kali membalas perkataannya tak apa-apa kan? Toh lagipula aku akan benar-benar pergi dari hadapannya. Ku harap kita tak akan pernah bertemu lagi, mungkin.
























-to be continued.











shade umbrella [END]Where stories live. Discover now