☔. kepingan masa lalu, iii.aksa

17 7 0
                                    

Aku menghembuskan napas panjang. Kini aku menatap kosong pada langit-langit kamar seraya berbaring diatas kasur. Akhirnya usai juga ibuku mengomel.

Sejujurnya aku sudah mengira hal ini akan terjadi, tetapi aku tak menyangka omelan akan berlangsung selama hampir dua jam tanpa henti. Dan ayah yang ada dibelakang ibu hanya diam menyaksikan dengan tatapan dingin yang menusuk ke ulu hati.

Aku tertawa sumbang. Maaf, Auris. Sepertinya apa yang aku harapkan tak akan pernah terjadi. Manusia tidak akan berubah semudah itu. Apa mungkin aku harus pergi selamanya saja, baru Ayah akan berubah?

Melantur apalagi kau Aksa. Maaf-maaf saja ya, otakku masih dalam keadaan waras walaupun jiwa dan ragaku sudah sangat lelah. Jadi, mana mungkin aku segila itu sampai berniat untuk bunuh diri.

tok! tok! tok!

Lamunanku seketika buyar saat pintu kamarku diketuk oleh seseorang. Kira-kira, siapa gerangan orang yang di balik pintu itu? Apa ibu kembali untuk mengomeli ku yang kedua kalinya? Atau mungkin Elsa yang hendak menghibur ku dengan kata-kata penyemangat ala bocah? Jangan-jangan malah ayah? Ahahaha, mana mungkin.

Tiba-tiba saja pintu kamarku dibuka perlahan. Tch, kalau begitu apa gunanya orang itu mengetuk pintu terlebih dahulu? Padahal ujung-ujungnya ia masuk begitu saja tanpa izin dari ku. Sungguh membuang-buang waktu saja.

Entah orang itu Ibu atau Elsa, aku tidak peduli. Aku akan memarahinya karena sudah mengganggu privasi ku. Langkah orang itu semakin mendekat, dan saat itu juga aku langsung terbangun dari posisi tiduran ku.

Belum juga mulutku mengeluarkan suara, tenggorokan ku tiba-tiba terasa tercekat, mataku bahkan sampai membulat sempurna saking terkejutnya dengan apa yang barusan aku lihat.

Eh, a-ayah?...!!

Netra ku bergulir ke segala arah, enggan menatap ayah yang kini sudah duduk dengan nyaman dipinggir kasur, lebih tepatnya disampingku.

Kulihat ayah menunduk dalam sebelum menarik napas panjang.

"Maaf."

"Ayah minta maaf buat yang pas itu."

"Ayah bukannya bermaksud buat mengabaikan kamu, Sa. Ayah cuma kaget, anak laki-laki ayah yang dulunya selalu nurut sama ayah tiba-tiba ngebangkang. Ayah rasanya—..." Kata-kata ayah terhenti ditengah jalan, dengan kasar ia mengusap matanya yang berkaca-kaca.

Aku yang melihat hal itu hanya diam tak bergeming, seolah-olah mati kutu ditempat. Jujur saja, aku merasa asing dengan sosok yang ada di depanku. Apa benar pria dewasa yang ada di sampingku ini adalah ayahku? Kemana perginya wajah dingin yang menatapku dengan tajam seperti beberapa waktu yang lalu?

Aku merasa bingung dan kesulitan mencerna apa yang terjadi. Kepalaku bahkan terasa cenat-cenut tak karuan.

"Dulu, waktu kamu masih kecil. Ayah senang ngelihat kamu main ice skating dengan sungguh-sungguh, ayah senang kamu mulai menganggap kalau ice skating itu bagian dari hidupmu sendiri. Tapi, seiring kamu beranjak dewasa. Ayah jadi mulai merasa kamu semakin mirip sama ayah yang dulu."

"Semakin lama ayah semakin takut, kalau semisal kamu mengalami hal yang serupa dengan apa yang ayah alami dulu. Ayah yang dulunya membuang segalanya hanya untuk ice skating, dan disaat ayah sudah merelakan semuanya, ayah mengalami cedera parah ditengah-tengah pertandingan. Karena hal itu, ayah udah gak bisa main ice skating lagi. Ayah benar-benar terpuruk, sampai ayah merasa berada di titik dimana ayah menyalahkan semua hal yang ada di hidup ayah, padahal semua itu terjadi karena ulah ayah sendiri."

"Dari situ ayah sadar, ternyata saat sudah dewasa, bakat yang ayah miliki tidak ada kegunaannya. Ayah menyesal, seharusnya saat masih sekolah ayah fokus belajar yang sungguh-sungguh saja. Di saat ayah terpuruk dan berusaha mengejar lagi. Mereka, teman-teman ayah bahkan sudah menyandang gelar sarjana, banyak yang sudah mendapat pekerjaan bagus. Sedangkan ayah?"

shade umbrella [END]Where stories live. Discover now