☔. memang belum saatnya

21 10 0
                                    

Langkah demi langkah terlewati meski dengan perasaan ragu dan khawatir yang mendera. Hawa dingin terus saja menyergap, entah kenapa berjalan menuju rumah Bu Tuti saja terasa begitu lama. Sampai hingga keberadaan Mars mulai terlihat, senyum gadis itu seketika mengembang.

Terlihat sesosok Mars tengah memainkan ponselnya dengan gaya sok cool seperti biasa. Yah, tapi Lana tidak terlalu yakin sih. Pasalnya pencahayaan didepan rumah Bu Tuti terlalu minim, entah yang disana benar-benar Mars atau bahkan hantu, ia hanya ingin cepat-cepat terhindar dari orang yang mengikutinya sedari tadi.

Kini Lana telah berdiri tepat dihadapan Mars, lantas ia menengok kebelakang untuk memastikan apakah stalker itu masih mengikutinya atau tidak. Ia bernapas lega saat mengetahui stalker itu telah menghilang entah kemana. Bulu kuduknya berdiri saat membayangkan kejadian yang barusan menimpanya, merinding sekali rasanya. Untung saja kedepannya Lana tidak akan melewati gang sepi tadi, karena Lana sudah memutuskan keluar dari les menggambar.

Mars yang merasa kehadiran Lana telah tiba, spontan mengalihkan perhatiannya dari ponsel ke Lana. "Lo kenapa sih, kok tiba-tiba nyuruh gua buat dateng kesini?"

"Ayo pulang." Bukannya menjawab, Lana langsung mengajak Mars pulang. Seolah-olah dia ingin segera pergi dari tempat ini.

Mars hendak bertanya lagi, namun ia urungkan. Dia hanya menghela napas berat, akhirnya Mars memilih untuk tidak terlalu memikirkannya. Mereka kemudian berjalan pergi, ke rumah Vega. Anak kecil tersebut minta dijemput untuk menginap dirumahnya Mars, katanya bosan dirumahnya terus.

Ditengah-tengah perjalanan, Lana masih mengingat dengan jelas kejadian tadi. Rasanya sangat menyeramkan dan membuat dia merinding. Jujur saja, baru kali ini dia diikuti oleh seseorang. Biasanya dia pulang juga aman-aman saja kok, entah kenapa bisa terjadi demikian. Ini rahasia, tapi Lana akan memberitahu kalian apa yang sebenarnya terjadi. Jadi, begini ceritanya...

Lana terdiam cukup lama dihadapan pintu warna putih polos. Sedari tadi yang ia lakukan hanya menatap ragu kebawah lantai sembari sesekali menghela napas lesu. Apa keputusannya kali ini benar? Bagaimana jika ia salah? Bagaimana jika nantinya ia akan menyesal? Begitu banyak pertanyaan bermunculan di kepalanya. Namun pada akhirnya Lana hanya bisa kembali menghela napasnya lantas menggenggam erat kenop pintu itu dan membukanya perlahan.

Yah, tak masalah jika nantinya Lana akan menyesal. Mau bagaimanapun ia harus mengorbankan sesuatu demi memulai lembaran yang baru.

Seusai pintu itu dibuka, Lana dikejutkan dengan keberadaan kakak mentor yang tiba-tiba sudah ada dihadapannya. Agaknya beliau hendak keluar dari ruangan. Mereka saling pandang selama beberapa detik, setelah itu Lana segera meminta maaf dengan nada canggung.

Kakak mentor itu tersenyum memaklumi, "gak papa, santai aja sama kakak. By the way ada urusan apa? Kok belum pulang?" Tanyanya penasaran.

Manik Lana bergerak kesana-kemari, " Gini, kak. Hari ini terakhir kalinya aku ikut les, karena aku mutusin buat keluar dari sini. Maaf banget, kak. Padahal aku gabungnya masih baru-baru ini, tapi malah seenaknya begini." Kata Lana panjang lebar seraya menundukkan kepalanya.

Tawa sang kakak mentor meledak seketika, suaranya pun ikut menggema di seluruh ruangan. Lana hanya bisa memandangnya kebingungan. Tatapan matanya seolah berkata, "ada apa gerangan dengan orang ini?" Begitu kira-kira.

Perlahan-lahan tawa kakak mentor itu mereda, lalu ia mengusap setitik air mata yang tanpa sadar keluar saat ia tadi tertawa. "maaf-maaf, habis ekspresi penuh ketakutan mu lucu."

"emm... kalau boleh tau alasannya karena apa?" Imbuhnya.

"Akhir-akhir ini aku sibuk belajar, kak." Jawab Lana ala kadarnya. Dia benar-benar sibuk karena belajar kok, walaupun alasan utama ia keluar karena ingin mengajari Mars dengan lebih leluasa.

shade umbrella [END]Where stories live. Discover now