Bab 8 Kedekatan yang entah terarah kemana

2.1K 185 17
                                    

DUA hari berlaku sejak kejadian menyedihkan itu. Hari hari aku lalui tanpa keberadaan seseorang yang kupanggil mama. Tanpa ada omelan mama saat aku tidak menghabiskan sarapanku. Dan dua hari pula aku masih berdiam dikamar bernuansa putih ini ditemani jarum yang menusuk punggung tanganku.

Cklek

Aku tersadar dari lamunan kala mendapat kecupan hangat dari papa. Masih dengan jas putih khas dokter serta alat yang menggantung dileher, papa duduk diranjang rumah sakit sembari membawaku bersandar dipelukannya. Elusan lembut ku terima seraya memejamkan mata dengan nyaman.

"Zea mau pulang." peryataan ku membuat papa mununduk menatapku teduh setelah bermenit-menit terdiam dengan keheningan.

"Boleh, tapi nanti ya, papa periksa adek lagi nanti siang." aku mengangguk saja dipelukan papa.

Masih berada diposisi tadi, papa tidak mengalihkan pandangan padaku. Yang memandang langit biru yang terlihat dari jendela besar rumah sakit dari lantai atas sini.

Cup

"Papa sedih kalau adek sedih-" aku mengerjab mendengar perkataan papa.

"Papa tahu ini terlalu sulit untuk adek lewati di umur yang masih sangat muda. Tapi papa juga tidak bisa menahan semuanya, papa juga manusia biasa, sayang-" papa menjeda kalimatnya. Aku menunggu masih tanpa beranjak sedikitpun.

"Papa tahu adek sedih, sangat sedih, iya?" aku mengagguk pelan dengan mata berair dengan perlahan mendongak memandang papa.

"Papa jahat ya? Buat adek sedih, buat adek nangis terus-" ucap papa sembari menghapus air mataku. Aku tahu papa juga sedih, tapi papa berusaha tidak menunjukkannya padaku. Papa menahan semuanya.

Gelengan aku perlihatkan sebari berkata,"papa baik." papa tersenyum lembut.

"Maafkan papa." aku mengeratkan pelukan pada papa.

Setelah melalui proses panjang dari segala tes sebelum meninggalkan rumah sakit ini. Akhirnya aku bisa bernafas lega saat papa bilang agar bersiap untuk pulang sore ini. Dengan bantuan mbak Alin aku berganti pakaian serta mbak alin yang merapikan segala keperluanku kemarin. Uncle Miko sedari tadi ikut menemaniku dan saaf ini sedang membantuku menali sepatu sneakers bewarna putih yang ku pakai.

Cklek

"Sudah selesai?" papa datang diikuti beberapa orang dibelakangnya, termasuk uncle Sam.

"Halo cantik." sapa salah satu orang dibelakang papa yang berusia tidak jauh beda dengan papa, mungkin sekitar 40-an. Uncle Miko dan Mbak Alin segera berdiri tegap dan membungkuk sekilas.

Papa mengelus keningku yang berkerut. "Aduh, lupa ya sama paman?" tanya pria parih baya yang lain.

Papa hanya terkekeh yang tengah berjongkok dihadapanku. Tak lama papa membawaku kegendongannya dengan mengdapan papa, tidak lupa tanganku yang melingkari dileher papa. Diumur 12 tahun, bisa dikatakan tubuhku termasuk standar tidak tinggi tapi juga tidak pendek, mungkin hanya sebatas dada papa bagian bawah jika diukur dari tinggi papa yang menjulang.

"Kok diem?" tanya papa sembari mengecup pipi merahku yang masih memperhatikan kedua orang itu.

Aku menggeleng pasrah, saat benar benar tidak ingat. "Zea gak tau." jawabku lirih seraya menelusupkan wajahku dileher papa yang sedikit bergetar karena tawanya.

"haha... Wajar sih, kan terakhir ketemu Zee masih kecil." ucap salah satu pria tadi.

"Kenalan dulu dong, boleh tidak?" Aku mengangguk dengan wajah yang tidak beranjak.

"Kenalin, Arwira Bramasta. Zee bisa panggil paman Wira." ucap paman itu sembari mengacak kecil rambutku.

Lalu paman satunya mendekat. "Januar Wadarma, bisa panggil paman Janu. Lama banget ya paman gak ketemu Zee udah besar sekarang, imut lagi." ucap Paman Janu sembari menoel pipiku. Papa tertawa mendengar gurauan kawannya.

A Piece Of ZEA'S MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang