Hatinya ikut sakit saat mengetahui Zarin mengidap penyakit yang begitu mematikan.

Hana mengusap air matanya pelan. Ia berusaha memperlihatkan wajah tegar. Namun, Evan tau dibalik itu semua ada sebuah kehancuran dan kesakitan yang tidak Hana perlihatkan pada siapapun.

"Aku akan pikirkan lagi," Hana meminum kopi yang dibuatkan Evan. Menyesapnya sedikit lalu meraih tas yang ia simpan disebelah nya.

"Aku masih ada urusan, terimakasih sudah meluangkan waktu untuk Kakak," Hana berdiri diikuti oleh Evan.

Evan menghampiri Hana lalu memeluknya. "Aku tau Kakak adalah wanita yang kuat," Ucapnya sambil mengelus lembut punggung Hana.

"Aku harap begitu," Balas Hana melerai pelukannya.

"Aku pergi dulu," Ucapnya lalu berjalan kearah pintu keluar.

"Hati-hati, " Ucap Evan saat pintu nyaris tertutup.

Evan menatap pintu yang tertutup, ia tau apa yang sedang dirasakan oleh Hana. Tak dapat dipungkiri ia pun merasa sedih.

"Aku yakin Zarin pasti bisa sembuh, Kak."

☁☁☁☁☁

"Eh Bunda baru pulang?"

Zarin melihat Hana yang baru datang dengan wajah sembab seperti orang yang sudah menangis. Dengan khawatir Zarin menghampiri Hana dengan langkah cepat.

"Bunda kenapa? Bunda nangis? Siapa yang udah bikin Bunda nangis?" Cecar Zarin membuat Hana terkekeh menatap putri kesayangannya tersebut.

"Ih Bunda kok malah ketawa sih!" Zarin mencebikkan bibirnya.

"Kamu sih lucu, nanya Bunda udah kayak wartawan." Balas Hana sambil mencoel pipi Zarin.

"Ihh Bunda aku kan khawatir liat Bunda kayak orang yang udah nangis gitu." Zarin menggiring Hana agar terduduk disofa.

"Bunda gak kenapa-napa sayang," Jawab Hana lembut dengan senyuman terpatri diwajahnya.

"Bohong! Masa gak kenapa-napa mata Bunda sembab gitu, hidunh Bunda juga merah." Sarkas Zarin tidak terima karena dengan jelas Hana membohonginya.

"Iya Bunda memang nangis, abisnya Bunda pusing sama kerjaan banyak banget, jadi Bunda nangis deh." Bohongnya pada Zarin. Sebenarnya Hana tidak berhenti menangis dalam mobil saat perjalanan pulang dari rumah sakit tadi.

"Bunda gak bohong kan?" Zarin menatap wajah Hana intens. Mencari kebohongan disana.

"Engga sayang," Hana menampilkan senyum manis, menghindari agar Zarin tidak curiga padanya.

"Banyak banget ya Bun kerjaannya?" Tanya Zarin khawatir seraya menggenggam tangan Hana.

"Banget sayang, Bunda sampe gak bisa mikir." Hana beralih membawa Zarin kepelukannya.

"Maafin Zarin ya, Bun?" Zarin menyamankan pelukannya dengan Hana.

"Kok minta maaf?" Hana mengernyitkan dahinya bingung.

"Maaf Zarin udah jadi beban Bunda,"

"Huss, gak boleh bilang kayak gitu, kamu itu bukan beban. Kamu adalah anugerah terindah dari Tuhan yang Bunda punya." Tutur Hana tak berhenti mengusap lembut kepala Zarin.

LEORA ZARIN [END]Where stories live. Discover now