[024]

1.7K 170 43
                                    


DON'T DIE!

copyright, 13 Oktober 2022

.
.
.

DI sebuah tempat yang jauh dari jangkauan manusia, sekumpulan orang—tidak, mungkin lebih tepatnya ‘keberadaan’ tengah berkumpul dalam suatu tempat. Menatap tercengang pada apa yang tampak seperti layar.

Tak ada yang berani buka suara, bahkan setelah bermenit-menit waktu berlalu. Keheningan yang terasa dingin dan canggung itu memenuhi atmosfer ruangan yang diisi oleh beberapa keberadaan. Rasa tak percaya juga takjub turut menguar kala hembusan napas panjang dari salah satunya mengudara.

“Aku tidak menyangka dia akan mengatakannya dengan begitu jelas.” Keberadaan dengan rambut pirang keemasan itu menyandarkan punggung di sandaran kursi mewah berukiran rumit, menopang sebelah pipinya seraya menatap lurus pada meja.

“Seharusnya itu tetap menjadi rahasia,” sahut keberadaan lainnya yang memiliki rambut putih perak sepinggang yang diikat rendah dan tersampir malas di bahu kanan, mengetuk-ketuk meja dengan jari telunjuknya.

“Tapi ... bukankah cepat atau lambat hal itu akan terkuak juga?” Keberadaan lain mengedarkan pandang, rambut hitam kemerahannya yang ditata acak-acakan itu mengerutkan kening—terlihat berpikir.

“Kupikir belum saatnya bagi dia untuk mengatakan sesuatu tentang itu.” Yang berambut cokelat karamel menyuarakan ketidaksetujuannya, nampak tidak puas dengan respon santai ketiga keberadaan lainnya yang merupakan saudara-saudaranya setelah sebelumnya membeku dalam keterkejutan.

“Memang belum.” Si rambut putih perak mengangguk setuju, mata hijau kebiruannya yang berkilau seperti permata di tengah lautan menatap lurus pada manik emas sang keberadaan berambut pirang keemasan yang duduk berhadapan dengannya.

“Tetapi, bukankah informasi mengenai hal itu seharusnya tidak diketahui.” Mengangkat sebelah alisnya, ia melanjutkan. “Setidaknya sampai Callas siap untuk membangkitkan kekuatan sucinya.”

Ketiga keberadaan itu terdiam. Membenarkan kata-kata si rambut putih perak.

Sekali lagi, ruangan itu dipenuhi oleh keheningan. Tak satu pun dari mereka mengeluarkan suara bahkan hanya sekedar untuk menghela napas atau mengerakkan tubuhnya guna mengubah posisi.

“Bagaimana dengan Leah?”

Satu pertanyaan pengalihan topik secara tiba-tiba dilemparkan oleh si rambut pirang keemasan, menatap ketiga saudaranya yang secara serentak mendengus sembari mengangkat bahu dengan gestur malas.

“Entahlah, mungkin dia sedang sibuk bercinta dengan Hugo.” Yang paling kecil, si rambut hitam kemerahan mengatakannya dengan nada sarkas yang membuat keberadaan paling tua menghela napas.

Melihat satu persatu ke arah saudara-saudaranya yang nampak sekali menunjukkan keengganan untuk melibatkan diri dengan Leah. Bukan bermaksud untuk tak peduli, hanya saja mereka termasuk dirinya sendiri secara pribadi sudah terlalu malas jika harus berurusan dengannya.

Terlebih dengan keberadaan Hugo yang tidak pernah mau menaruh rasa percaya pada mereka. Kecurigaan keberadaan itu sepertinya telah mendarah daging akibat semua hal yang pernah terjadi di masa lalu. Tentu, kalau pun itu mereka, sudah pasti mereka juga akan melalukan hal yang sama seperti yang selalu dilakukan oleh Hugo, yaitu curiga.

Apalagi dengan kematian Leah yang terakhir kali, hal itu tentunya membuat Hugo semakin tidak mempercayai mereka meski sebuah perjanjian dan kesepakatan telah disetujui. Namun, keraguan yang dipenuhi rasa curiga bahwa Leah tak akan dihidupkan lagi menjadi ketakutan tersendiri untuk Hugo yang selama ratusan bahkan ribuan tahun lamanya menanti Leah bangkit dari tidur panjangnya.

DON'T DIE!Where stories live. Discover now