"Lo duluan aja, Ta," kata Theo pada Zita. Tanpa menunggu respon Zita, Ia buru-buru keluar dari mobil dan mengejar gadis tadi. Ia reflek memanggil, saat melihat gadis yang dicarinya sedang mencoba menghentikan taksi di tepi jalan. "Moza!"

Gadis itu menoleh, dan senyum Theo langsung mengembang. Gadis itu memang Moza. Gadis yang selama setahun terakhir pergi meninggalkannya dan jadi pusat rasa bersalahnya. Tak ada perubahan yang signifikan. Hanya saja, ekspresi gadis itu terkesan dingin.

"Lo kok di sini?" tanya Moza saat Theo semakin mendekat.

"Nganter Zita ke makam mamanya. Lo?"

"Ke makam nenek."

Ah, benar. Theo baru ingat jika nenek Moza meninggal tiga hari setelah kejadian itu dan dimakamkan di tempat ini. "Lo, apa kabar? Gue pikir masih di Jerman."

"Kabar baik. Gue baru sampai dua jam yang lalu. Ke rumah dulu untuk taruh koper, terus ke sini."

Rumah? Theo mengernyit. Seingatnya, bagian depan rumah gadis itu terpasang plakat 'Dijual' saat dirinya kalang kabut mencari keberadaan gadis itu tahun lalu.

"Rumah baru. Rumah yang lama udah terjual," jelas Moza seolah tahu apa yang Theo pikirkan.

"Lo ... stay di Indo lagi?"

"Mungkin."

Meski bukan jawaban pasti, Theo tak dapat menyembunyikan senyumnya. "Daerah mana? Mau sekalian balik bareng gue?"

"Oh itu ...." Moza tampak ragu-ragu.

"Gue nggak maksa Za ...." Theo menjeda ucapannya "Mungkin lo nggak mau ketemu gue lagi."

Moza tampak menghela nafas lelah. "Rumah gue masih sangat berantakan. Nggak enak kalau gue numpang balik, tapi nggak persilakan lo untuk mampir. Dan ... gue agak jetlag, jadi ...."

Theo mengerti. "It's okay, Za. Kalau mau pergi lebih dulu, pergi aja."

Setelah itu, Moza benar-benar pergi meski sempat mengajak Theo saling bertukar nomor ponsel. Mungkin hanya sebatas basa-basi karena nyatanya setelah dua minggu berlalu, gadis itu sama sekali tak menghubungi Theo.

Theo duduk di kursi kafe sambil memandangi nomor telepon Moza tanpa berani menekan tombol panggil. Mengingat sikap Moza hari itu membuatnya takut. Takut jika kehadirannya justru jadi hal buruk bagi Moza.

Tanpa sadar Theo menghela napas, membuat Iddar yang sedang duduk di seberang meja menatapnya. "Lo lagi patah hati, ya?"

Theo memasang muka malas. "Ngenes banget gue, malam mingguan malah sama lo."

"Kan lo yang ngajak gue." Iddar tak terima. "Lagian, lo harusnya merasa beruntung karena gue lebih milih nemenin lo daripada menghabiskan malam panas bareng salah satu gebetan gue."

Theo mendecak, menatap jijik pada teman yang sudah dikenalnya sejak SMA itu. Sebagai seorang sahabat, Iddar memang teman yang baik, tapi sebagai pasangan, Iddar adalah yang terburuk.

Theo mengalihkan pandangan ke penyanyi wanita yang sedang menyanyi di atas mini panggung. Atensinya teralihkan saat ponsel di tangannya bergetar.

Moza is calling ....

Theo tertegun sesaat sebelum senyumnya terbit. Lekas saja ia menjawab panggilan itu. "Halo?"

"Halo, Yo!" balas gadis di seberang sana. "Ehm .... Gue ganggu nggak? Lo lagi malam mingguan, ya?"

"Lo baru telepon gue setelah dua minggu dan itu pertanyaan pertama lo buat gue?"

My True Me (END)Where stories live. Discover now