A Supplementary Story : 4

5 1 0
                                    

cr

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

cr. to owner

A Supplementary Story : 4
Kematian Jumin

Minhee' side

Hari Senin, tanggal 15, bulan Maret

Sore ini Jumin berkata akan berjalan-jalan dengan teman-temannya ke kota. Memakai mantel coklat dan sepatu boots hitam.

Seperti Jumin biasanya, mengirimiku foto makanan yang ia makan bersama teman-temannya.

Sudah memasuki jam makan malam, kurasa Jumin akan pulang sekitar 1 jam 30 menit lagi, dia sedang perjalanan menuju stasiun katanya.

Aku yang baru bangun tidur tertawa melihat foto makanan yang dikiriminya.

'Aku juga ingin!' Batinku membalas pesan Jumin dengan stiker gambar kucing.

Sambil menunggu ia pulang aku memutuskan memasak makanan saja, dan aku belum mandi, malas, nanti saja.

"Oh baiklah, biar saya kirim dokumennya, siap! Jam 9 ya!" Ucapku pada teman kantor yang tiba-tiba menelpon saat aku sedang mengangkat telur goreng dari penggorengan.

"Atau besok sekalian kubawa saja ke kantor? Apa harus malam ini?" Tanyaku pada si penelpon

"Hm. Ok!"

'pip' Aku menutup sambungan telepon dan meletakkannya diatas meja, makan dengan damai dan bersantai didepan kulkas.

'cklek, brak!'

"Harus membanting pintu?" Tanyaku dengan nada bercanda membalikkan tubuh ke arah pintu utama.

Masuklah Jumin dengan wajah misteriusnya dan berjalan pelan menghampiri keberadaanku.

"Eh? Untukku?" Tanyaku ketika gadis itu menyodorkan sebuket bunga camelia yang cantik, dan langsung saja aku menerimanya. Sudah lama aku tidak melihat bunga.

'Grep' Setelah meletakkan bunga itu diatas meja Jumin memelukku erat.

"Hei, aku belum mandi, aku wangi kan?" Candaku, berharap Jumin tertawa atau menggebukku dan reaksi lainnya.

Namun tak sampai lima detik yang terdengar adalah suara isak tangis.
Jantungku berdetak lebih kencang.

'Jumin? Menangis?'

Aku memilih membiarkannya menangis di bahuku membalas pelukannya dan menyandarkan daguku pada bahunya, mungkin ia hanya kelelahan dan ingin menangis saja. Tangisannya terdengar tenang, tidak histeris dan aku masih menebak-nebak isi kepalanya. Seperti biasa aku tak bisa mengatakan apa-apa, apalagi memberinya support atau kata-kata penyemangat. Takut salah jika melucu.

Akhirnya suara tangis itu memelan, ia menarik nafas panjang dan membuangnya perlahan. Aku menepuk punggungnya tiga kali, berusaha menenangkannya.

Ia melepas pelukan dan mengusap wajahnya dengan lengan baju.

✔️Kang Minhee - Suami dari Masa Depan (2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang