Janji Dzaky

13 3 3
                                    

Zara melihat keluarga tirinya. Berdiri di samping mereka, ikut mengantar kepergian ayahnya.

Ibu tiri Zara menatapnya. Dia mengerutkan bibirnya dengan mata melotot.

"Ayo pulang," ucapnya pada kedua anaknya. Dia berjalan terlebih dahulu ke mobilnya. Diikuti Olivia putrinya.

"Zara, ayo pulang." Denis masih berdiri di sebelah Zara.

"Denis," teriak ibunya. "Cepat masuk mobil."

Denis melihat Zara lagi. "Zara, ayo."

"Denis," Olivia ikut memanggil. Denis akhirnya pergi, terlebih dahulu menatap Zara dengan rasa bersalah.

Zara masih berdiri di tempatnya. Melihat mobil ibu tirinya yang mulia hilang dari pandangannya. Dia menggertakkan giginya, perasaan sedih bercampur benci. Dia memperhatikan sekitar yang sepi. Dia akhirnya berjalan pergi.

Zara berjalan di trotoar. Dia masih berada di kota. Rumahnya masih jauh. Dia berjalan perlahan, memperhatikan ramainya jalan raya di malam hari.

Dia menepi ke pinggir, duduk di bangku taman yang ada di pinggir jalan raya. Dia hanya melamun, berusaha menghilangkan semua hal dari kepalanya. Dia berusaha tenang.

Handphone-nya berdering. Namun tidak menggangu ketenangannya saat ini. Dia tetap diam, melihat ramainya jalanan.

Untuk kedua kalinya handphone-nya kembali berdering. Kali ini dia melihatnya dengan malas. Dia melihat nama pemanggil dan raut wajahnya segera berubah.

"Halo, Zara." Suara dari seberang segera terdengar.

"Hm," gumam Zara.

"Lo dimana?"

Zara bisa merasakan sedikit kekhawatiran di nada bicara Dzaky.

"Gue di taman jalan Mayar."

"Ngapain?"

Zara diam, dan mendengar Dzaky berbicara lagi. "Ayah Lo mana?"

"Pergi," jawab Zara jujur.

"Lo sama siapa disana?"

"Sendiri."

"Zara." Dzaky menguatkan suaranya. "Lo baik-baik aja?"

Zara diam, hanya berusaha menenangkan perasaannya dengan memejamkan mata. Zara diam cukup lama, dan tidak menyadari sambungan telepon telah terputus.

Lalu lalang kendaraan mulai menurun. Satu-persatu pedagang kaki lima mulai menutup dagangannya. Kadang jalanan sunyi, sebab tidak ada kendaraan yang lewat.

"Zara."

Sebuah suara membuat Zara mendongak.

Dzaky berdiri di depannya. Entah kapan Dzaky ada disana, Zara cukup bingung. Handphone masih digenggamnya, mengingat baru saja dia berbicara dengan Dzaky di telepon. Namun sekarang dia sudah ada di depannya.

"Ayo pulang," ucap Dzaky lagi.

Zara hanya melihatnya dengan tatapan kosong. Mulai berdiri dan berjalan menuju Dzaky. Dia berjalan perlahan, tatapannya tepat ke mata Dzaky. Seakan memberitahu semua rasa sakitnya pada Dzaky melalui matanya.

Dzaky tidak sabar melihat langkah Zara yang pelan. Dia mengambil langkah cepat ke depan Zara. Dia langsung membawa tubuh Zara ke pelukannya. Dia akan menerima beban Zara. Dielusnya lembut rambut gadis itu. Kemudian merasakan tubuh Zara bergetar menahan tangis.

"Zara," ucap Dzaky sepelan dan selembut mungkin.

"Menangislah, jangan ditahan."

Setelah itu, Dzaky merasakan dadanya basah. Zara menangis hebat, dia mengeluarkan semuanya. Ini adalah pertama kalinya Dzaky melihat Zara menangis. Gadis jahil dan urak-urakan itu kini melepaskan bebannya. Dzaky sedikit bahagia, di samping rasa sedih melihat Zara seperti itu.

"Ayah pergi," ucap Zara sesenggukan di dalam pelukan Dzaky.

"Semuanya pergi."

"Gue harus gimana sekarang, gue pulang kemana? Gue sendiri sekarang."

Dzaky memejamkan matanya. Dia bisa merasakan apa yang dirasakan Zara. Dia mengeratkan pelukannya.

"Gue gak punya siapa-siapa buat cerita. Kalau gue dihukum di sekolah, siapa yang bakalan datang menemui guru."

Zara akhirnya melepaskan pelukannya. Dia menghapus air matanya dengan cepat dan menatap Dzaky. Dzaky hanya tersenyum padanya, melihat senyuman itu sedikit menenangkannya.

"Semua bakalan baik-baik aja," ucap Dzaky meyakinkan.

"Zara, tersenyumlah!" Dzaky melembutkan senyumnya. Matanya cerah dan tulus menatap Zara.

"Lo gak sendiri. Gue ada kapanpun buat Lo."

"Masih ada tante dan oom. Rumah mereka adalah tempat Lo pulang. Rumah gue juga selalu terbuka buat Lo."

"Lo bisa cerita ke gue. Kalau Lo dihukum, gue yang akan datang dan bicara."

"Zara."

"Hidup tidak selamanya akan berpihak pada kita."

"Bagaimanapun keadaannya sekarang, Lo harus tetap menjalaninya." Dzaky berbicara perlahan dan lembut. Berharap bisa memberikan kekuatan pada Zara.

Dzaky menyelipkan rambut Zara ke telinganya. Dia mengelus rambut itu lembut. "Gue janji, gue akan selalu ada buat Lo."

Zara mendongak menatap mata Dzaky.

"Gue masih Dzaky yang dulu. Gak ada yang berubah. Gue sahabat Lo. Lo gak sendiri."

Dzaky menggenggam telapak tangan Zara. "Ayo kita pulang."

Mereka berjalan sambil terus bergandengan tangan. Hanya diam dan merasakan ketenangan malam yang mulai sepi. Tiap langkah mereka adalah kekuatan, walau hati sedikit resah, tapi hidup tidak akan berhenti.

Keesokan harinya saat Dzaky terbangun dia langsung pergi ke rumah tante Zara. Namun segera berbalik ketika tidak melihat sepeda Zara dimanapun. Dia berpikir bahwa Zara sudah berangkat ke sekolah.

Dzaky masih belum sekolah. Dia ingin menyembuhkan kakinya sepenuhnya. Dia tidak mau pergi ke sekolah dengan pincang, apalagi berjalan dengan tongkat.

Love In FriendshipWhere stories live. Discover now