Jadilah Adik yang Baik

24 10 7
                                    

Seperti biasa, pagi sekali Dzaky berangkat ke sekolah. Selama hampir satu setengah tahun di SMA, dia hanya pernah terlambat satu kali. Itupun bukan karena kesalahannya, tapi karena Zara. Hari itu tepat pada hari pertama sekolah, itu juga merupakan pertama kalinya dan terakhir kalinya dia berangkat ke sekolah bersama-sama dengan Zara. Dzaky sangat cekatan dengan gerakannya, berbeda dengan Zara yang lambat. Dzaky terbiasa bangun pagi, sementara Zara selalu kesiangan.

Dzaky berjalan santai di sepanjang jalan. Tas hitam dan dengan kedua tangan dimasukkan ke saku . Selain dia, di jalanan juga ada beberapa murid yang menuju sekolah. Sebagian dari mereka ada beberapa siswi perempuan yang mencuri-curi pandang padanya.

Saat dia telah berada beberapa meter dari gerbang sekolah, Dzaky melihat seorang murid SMP yang berdiri di depan gerbang. Dia menggenggam sebuah kantong plastik yang Dzaky tidak tahu isinya. Dia nampak serius memperhatikan murid-murid yang memasuki gerbang. Hingga tatapannya jatuh pada Dzaky, dia menatap Dzaky lama sekali.

Dzaky melewatinya ketika menuju gerbang. Dzaky tidak menyapanya, bahkan menatapnya. Dia hanya melihatnya sekilas ketika tadi dia masih jauh dari gerbang.

"Tunggu," dia memanggil Dzaky yang hampir mencapai gerbang.

Dzaky berhenti di tempatnya tanpa memandang orang yang memanggilnya. Sedangkan Bocah SMP itu memperhatikan Dzaky dari belakang lalu menghampirinya.

"Dimana Zara?" Dia bertanya dengan ketus.

"Dia udah di dalam." Dzaky berkata tanpa banyak ekspresi, namun masih sedikit sopan.

"Kasih ini pada Zara." Dia memberikan kantong kantong plastik yang dibawanya kepada Dzaky. Seperti biasanya dia akan menampilkan wajah sombongnya pada Dzaky. Bahkan saat membutuhkan bantuan dari Dzaky pun dia tidak mengubah sikapnya.

Meskipun begitu, Dzaky tetap menerimanya, dia mengambil kantong plastik itu dari tangan orang di depannya. Kalau tidak, orang ini akan melakukan apapun untuk bisa memberikannya pada Zara.

"Gak ada salahnya peduli pada saudari tiri, tapi Lo harus tau batasan." Setiap kata disebutkan perlahan. Dzaky memandang Denis dengan tajam dan sudut mulutnya sedikit terangkat. Matanya seperti bisa menilai isi pikiran Denis. Setelah itu Dzaky meninggalkannya.

Denis terkejut dengan perubahan sikap Dzaky. Selayaknya tuan muda, Denis tidak terima dengan perlakuan Dzaky yang membuatnya terlihat rendah. Dia mengejar Dzaky dan langsung menarik bahunya, sehingga mereka berhadapan. Denis memandang Dzaky dengan penuh permusuhan. Mereka hampir mempunyai tinggi yang sama, tapi Denis masih harus sedikit mendongak, agar mata mereka saling bertemu.

Dzaky memperhatikan orang-orang di sekitarnya. Sepertinya mereka telah menjadi pusat perhatian. Dia melirik ke kanan dan kiri, lalu dengan santai menatap bocah SMP di depannya.

"Ada apa." Matanya berkilau terang dan bibir tipisnya terangkat ke atas. "Zara orang yak gak peduli apapun, dia urak-urakan, Lo pikir, dia bakalan terharu ngeliat Lo peduli?" Dia dengan santai menghadapi Denis, sedikit membungkuk ke depan dengan satu tangan dimasukkan ke saku celana.

Seorang murid perempuan gendut yang sedang melewati mereka mendapati Dzaky yang tersenyum. Mulutnya dan matanya terbuka lebar, seperti baru melihat oase di gurun pasir. Dia berjalan perlahan memasuki sekolah, tapi matanya tetap tertuju pada Dzaky, tidak sekalipun berkedip, seakan tidak ingin kehilangan pemandangan indah di hadapannya. Perempuan gendut itu bukanlah peramal yang tahu apa saja di depannya, sementara kepalanya menyamping ke arah lain. Nasib buruk sudah menunggunya di depan. Dia menginjak kerikil kecil yang membuatnya terpeleset ke belakang. Tubuh besarnya segera mendarat ke belakang. Murid lain yang melihat itu segera menghentikan langkahnya masing-masing. Mata mereka terbuka lebar menyaksikan adegan yang sepertinya berubah sangat lambat. Buk, setelah bunyi nyaring itu terdengar, suara tawa langsung memecah keheningan adegan sebelumnya.

Dzaky dan Denis yang tadi saling menatap, kini juga memandang gadis yang terjatuh itu. Gadis yang sedang berbaring di tengah keramaian itu melihat Dzaky juga memandangnya. Dia segera berdiri, namun dengan tubuhnya yang gendut, dia terlihat sangat kesusahan saat hendak berdiri. Setelah berdiri dia segera berlari memasuki sekolah dan meninggalkan kerumunan dengan malu. Tinggal menunggu waktu saja hingga kejadian ini akan menyebar ke seluruh murid di sekolah.

"Sebaiknya jangan ikut campur urusan keluarga orang lain." Denis berusaha mengimbangi sikap santai Dzaky.

"Keluarga." Dzaky mengulangi kata keluarga sambil tertawa kecil. Tanpa menunggu jawaban dari Denis, Dzaky langsung meninggalkannya.

Denis hanya bisa menggertakkan gigi dengan wajah gelap di tempatnya. Dia berbalik pergi setelah Dzaky memasuki sekolah. Dia sangat membenci Dzaky. Dulu, dia, Dzaky, dan Zara berada di sekolah yang sama. Dia dan keduanya berbeda satu tahun. Dia mengenal Zara saat di sekolah menengah pertama. Belum menyadari bahwa gadis itu adalah saudari tirinya. Dia mengagumi Zara, sejak saat gadis itu berdiri di podium dengan pidato serta piala penghargaan di tangannya. Namun yang membuatnya selalu iri adalah orang di samping Zara, Dzaky tersenyum penuh kebanggaan dengan piala yang lebih besar di tangan.

Dzaky berjalan di sepanjang koridor, di tangannya masih ada kantong plastik yang diberikan Denis. Dzaky memperhatikan sekelilingnya, setelah mengetahui di sekitarnya sepi, dia memeriksa kantong plastik itu. Di dalamnya ada tiga kotak makanan, dan sebuah kertas yang terlipat rapi. Dzaky mengambil kertas itu dan memasukkannya ke saku. Dia kembali berjalan menuju kelasnya. Di depan sebuah kelas terlihat tiga murid laki-laki saling berbicara. Ketiga murid itu terlihat urak-urakan, tidak memasukkan baju ke dalam celana. Dzaky pun menghampiri mereka dan memberikan makanan yang diberikan Denis pada mereka.

"Apaan Bro?" Seorang murid dengan rambut panjang bertanya sambil tersenyum. Tangannya sudah menerima kantong plastik berisi makanan itu.

Dzaky hanya tersenyum tanpa menjawab dan berlalu begitu saja. Murid berambut panjang itu dengan penasaran mengeluarkan satu kotak makanan. Melihat itu kedua temannya langsung berebut, tangan mereka masing-masing dengan cepat mencapai plastik secara bersamaan. Sedangkan murid berambut panjang segera menjauh dari kedua temannya dengan satu kotak makanan di genggamannya.

***

Di kelas XI B, guru matematika sedang menjelaskan di papan tulis. Guru itu dipanggil murid-murid dengan sebutan Ibu Li. Contoh-contoh soal matematika tertulis rapi di papan tulis. Penggaris kayu sepanjang satu meter digunakan Ibu Li sebagai penunjuk apa yang baru saja dijelaskannya di papan tulis.

Dua orang murid laki-laki di samping meja Zara dan Nadin terlihat asik membaca sebuah komik. Mereka menaruh komik itu di tengah dengan posisi berdiri, karena itu mereka juga saling berdekatan.

Zara di sampingnya duduk santai dengan telapak tangan di pipi sebelah kiri sebagai penopang kepalanya. Walau begitu dia sebenarnya mendengar dan memperhatikan penjelasan guru. Sedangkan Nadin di sebelahnya, duduk tegak dengan kedua tangan terlipat di atas meja.

Ibu Li yang sedang menjelaskan tiba-tiba berhenti berbicara. Dia menatap tajam pada dua murid di samping Zara. Sementara dua murid itu tidak mengetahui bahwa ibu Li menatap mereka. Mereka berdua fokus pada komik yang mereka baca.

"Paii..." Zara berbisik pelan memanggil murid laki-laki di samping kanannya. Namun Pai tetap tidak mendengar. Dia malah asik menaikkan kacamatanya. Pai tergolong murid yang tidak mampu dalam pelajaran, dia seorang pencinta komik. Ciri khasnya adalah komik yang selalu dia bawa kemana-mana, serta kacamata kotak yang bertengger di depan matanya. Nama lengkapnya adalah Abdi Ripai, dan dipanggil Pai.

Love In FriendshipWhere stories live. Discover now