52. Ending (Baru)

Start from the beginning
                                    

Kini, yang ada di pikirannya hanya dapat bertemu dengan Riri dan menyelesaikan masalahnya. Sebab, beberapa kali mereka marahan pun, Riri dengan mudah untuk memaafkan dan masalah dengan cepat selesai, tapi… mengapa kali ini berbeda? Mengapa Gala sama sekali sulit hanya untuk sekadar mendapatkan maaf dari gadisnya.

Apakah… kesalahannya kali ini begitu fatal? Apa… Riri merasakan sakit hati yang begitu parah yang disebabkan olehnya?

“Bego!” Gala memukul-mukul kepalanya sendiri. “Lo bego, Gal! Bego!”

Iya, dia begitu bego karena tidak menyadari bahwa kesalahannya memang sudah tidak bisa dimaafkan. Bagaimana mungkin hati kecil yang sudah rapuh itu bisa kembali menerima kata-kata jahat yang beberapa waktu lalu dirinya lontarkan? Besar kepala sekali jika Gala berpikir bahwa gadisnya pasti baik-baik saja setelah apa yang terjadi.

Gala merosotkan tubuhnya yang kini bersandar di dinding kamar yang sudah kotor akibat makanan yang ia lempar beberapa hari lalu. Ia mengambil obat yang ada di saku celananya lalu meminum obat itu tanpa air, berusaha semaksimal mungkin meredam api amarah yang masih meletup-letup di dalam hatinya. Mengabaikan tubuh yang sudah seperti zombie itu dan badan yang mengurus karena kegiatannya hanya menyalahkan diri sendiri, merusak barang, dan meminum obat tanpa air jika emosinya sudah tidak dapat dikontrol sama sekali.

Tak lama kemudian, saat mata Gala mulai merasakan kantuk efek dari obat yang ia konsumsi, bel pintu apartemen Gala berbunyi. Gala malas dan enggan sekali membukanya, tapi karena bel itu terus berbunyi dan membuatnya terganggu, mau tidak mau Gala terpaksa bangkit untuk melihat siapa yang bertamu ke apartemennya.

Sebelum keluar dari kamarnya, Gala menatap pantulan dirinya di depan cermin besar yang ada di pojokan kamar. Lihatlah, sekarang, dirinya benar-benar mirip seperti mayat hidup. Bajunya kusut, rambutnya berantakan, kantong matanya terlihat sangat jelas dan yang pasti wajahnya benar-benar menyedihkan. Gala sendiri sampai merasa kasihan dengan dirinya.

Dengan langkah yang tidak bertenaga, Gala memaksakan dirinya untuk melangkah menuju pintu utama, dan ia sangat terkejut saat melihat siapa yang datang ketika pintu terbuka dengan lebarnya.

Rafa, cowok itu berdiri di depan pintu dengan wajah penuh kekhawatiran. Cowok itu menatap Gala dari atas sampai bawah dengan tatapan prihatin. Rafa sudah bisa menebak apa yang Gala alami akhir-akhir ini. Pasti cowok itu sedang frustrasi karena memikirkan hubungannya dengan Riri yang sedang di ambang kehancuran.

“Kenapa lo ke sini? Mau ketawa sama keadaan gue yang kayak gini?” tanya Gala dengan malas. Pasalnya, Rafa melihatnya begitu intens seolah-olah ia tengah memenangkan pertandingan antar keduanya.

“Ada hal penting yang mau gue bicarain.”

Satu sudut bibir Gala terangkat, lalu ia tertawa lemah seolah tengah mentertawakan dirinya. “Mau ngajak gue ribut lagi? Sorry, Raf, gue nggak punya tenaga buat itu.”

“Gal, ini penting.”

Gala menghela napas lelahnya, matanya yang begitu sayu memancarkan permohonan kepada Rafa bahwa dirinya sama sekali tidak ingin diganggu barang sedikit pun. “Hh, apa, sih? Gue udah capek, Raf. Lo nggak paham juga?”

“Gue nggak butuh pemaham—”

“Lo… mau pergi dari sini atau gue marah dan meledak?”

Dan tepat saat Gala akan menutup pintunya, Rafa langsung bersuara dengan lantang. “Ini tentang Riri! Lo mau dengerin sekarang atau lo bakal nyesel selamanya?!”

Pergerakan Gala menutup pintu terhenti seketika. Gala menatap Rafa dalam diam, menunggu cowok di hadapannya itu melanjutkan kalimatnya. Namun, beberapa detik berlalu, Rafa sama sekali tidak menjelaskan maksud dari kalimatnya itu.

BUCINABLE [END]Where stories live. Discover now