4:Kau Pikir, Mereka Semua Melindungimu

113 32 5
                                    

Sesuatu dalam dirinya mengatakan, di satu titik dalam perjalanan mereka, ia telah kehilangan Gada

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sesuatu dalam dirinya mengatakan, di satu titik dalam perjalanan mereka, ia telah kehilangan Gada. Entah bagaimana.

Makin hari, semuanya semakin pudar. Kadang, Gada menjadi sosok kokoh yang kepadanya Ava menambatkan diri, agar tidak habis dilahap mistik apapun yang memburu. Di lain hari, Gada menjadi terlalu gelap, menjulang terlalu tinggi dengan bayang-bayang yang melahap ruang di sekitarnya.

Demikian dengan Kalki. Ava sadar betul, Kalki sudah berbebda sejak Kuruksethra, akan tetapi makin memburuk saat ia kembali. Sattwam dan Sugriwa tidak bicara pada Ava, fokus mereka tentu berputar di sekitar Kalki. Mereka berdua membenci dirinya.

Siapa yang bisa melindungimu seperti aku?

Tidak ada yang bisa melindungimu seperti aku.

Kepala Ava dipenuhi gema suara Gada sepanjang perjalanan menemui Atman.

Jauh-jauh gema itu dibuang, Ava bersiap di depan pintu ruangan Atman. Pelan, ia membuka pintu, menemukan Atman duduk bersila di lantai. Aroma air dingin menguar dari tubuhnya, jejak air segar bergelantungan di helaian rambut.

"Mereka mengizinkanmu mandi?" tegur Ava, sedikit iri karena Penjara Sinaga tidak memberinya kemewahan itu.

Atman memutar tubuh, mengangguk pelan.

"Enak sekali."

Atman tidak banyak bicara, tidak melawan ketika Ava meminta bersiap dengan buru-buru. Sejenak, Ava dibuat kikuk oleh responnya, melihat Atman menyerah bukan sesuatu yang mudah diterima, ternyata. Dia lebih terbiasa dengan Atman yang siap siaga menjegal udara yang dihirup.

Tidak ada anak buah Runan yang mencegat mereka berdua saat berpapasan, antara malas berurusan dengan Ava atau muak melihat Atman. Hanya satu yang mempertanyakan tujuan mereka pergi dari ruangan, Ava beralasan dia perlu Atman untuk bicara pada Kalki.

Jelas tidak ada yang melawan, siapa lagi yang bisa?

Atman menunggu di tangga belakang ashram yang membawa mereka ke padang rumput, mengamati langit subuh dalam tatapan sendu. Sementara itu, Ava menuntut sepeda yang terparkir di dinding sebelah tangga.

"Itu ada satu, cepat ambil." Ava menunjuk satu lagi yang tersisa.

"Mau pergi ke tempat apa?" tanya Atman, belum mengambil sepeda.

"Aku tahu satu tempat yang aman, dekat sungai."

"Jauh?"

"Tidak juga, tapi lebih cepat kalau pakai sepeda." Ava mengangguk ke sepeda. "Cepat ambil."

"Aku jalan saja." Atman menuruni tangga dengan enteng.

Lalu Ava menyadari sesuatu. Setelah sekian lama, ia merasakan getar tawa tertahan di perutnya. "Kau tidak bisa naik sepeda, ya?"

Atman berhenti di depan Ava. "Dan kau tidak bisa berenang."

Alih-alih melawan, tawa Ava pecah di bawah langit subuh, di sisinya Atman ikut terkekeh. Menyegarkan, itulah yang merasuki Ava. Satu momen di dunia nyata, dia melihat Atman seutuhnya, bukan sebagai orang yang akan menghantam atau merampas sesuatu darinya.

Senandung Jazirah (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang