16 : Bawa Dia Padaku

152 39 2
                                    

Bisha muncul mendekati tengah malam dengan murka, sekaligus tak berdaya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bisha muncul mendekati tengah malam dengan murka, sekaligus tak berdaya. Ditelannya bulat-bulat amarah saat berdiri di hadapan Gada, yang belum beranjak dari ruang kerja. Entah kenapa, Ava sudah menduga ini bakal terjadi cepat atau lambat. Ketidakhadirannya di pura, tidak membuat segalanya lebih lancar, Bisha punya hak untuk marah karena Gada mengirim pengungsi tanpa persetujuan.

Runan berdiri di depan pintu, menghalangi akses keluarga Bisha, sementara Yolanda duduk santai di sebelah Gada seolah tahu posisinya sudah lebih unggul. Wija dan Ava mengawasi dalam diam di antara tumpukan surat yang hendak dikirim ke Persada untuk meminta bantuan.

Bisha mengobrak-abrik kertas itu, paham bahwa jika dia menolak maka Gada akan mengambil jalur belakang; membuat anak buahnya berontak sendiri padanya.

Gada masih bertahan di kursi, tidak menegur Bisha yang mencak-mencak. Kedua tangannya bertaut di bawah dagu, ekspresinya datar tak terbaca.

"Kalian yang perlu bantuanku dan kalian yang bersikap kurang ajar!" suara Bisha menggelegar di dalam ruangan.

"Lebih kurang ajar kalau tetap egois. Menolak membantu hanya karena... apa sih sebenarnya?" Yolanda membalas.

"Sudah selesai marahmu? Karena tidak ada yang bisa diubah. Mereka sudah di tempatmu, itu keputusanku. Baik untuk semua. Kau punya sumber daya untuk melindungi mereka." Gada menurunkan tangan ke meja, anggukan kepalanya memberi isyarat agar Bisha ikut duduk.

"Kami tidak punya itu semua." Bisha mengentakkan kursi di hadapannya ke tanah.

"Kalau begitu, kau bodoh jika menolak membantu kami." Gada mencondongkan tubuh. "Bantu kami, ikut kami. Mereka akan lihat kita sebagai kesatuan dan bantuan akan datang padamu juga."

"Siapa yang mau bantu aliansi yang hanya mengurusi kesakralan pura tanpa urgensi?" pertanyaan terakhir Gada membuat Ava mengernyit.

Sebentar, memangnya siapa yang mau membantu pihaknya ? Ava menjulurkan tangan ke telapak tangan Wija sampai pria itu menoleh, tanpa suara dia bertanya. "Siapa?"

Wija tidak menyahut, hanya meremas jemari Ava dalam genggamannya. Setelahnya, Ava paham, mulutnya gemetar bingung. "Konsorsium?"

Genggaman Wija makin erat.

"Kau sudi melahap aliansi lain agar dapat validasi dari mereka?" dahi Bisha merengut.

"Kita tidak punya pilihan. Kalau kau terus memisahkan diri, suatu hari nanti kau tidak akan punya pura atau tanah sakral untuk kau lindungi," kata Gada dengan penekanan tajam. "Suka atau tidak, kelompok Rayyan sudah pasti menandai kalian. Mereka menandai siapapun yang tidak setuju pada Babad Kasta. Menjadi netral, bukan jaminan selamat. Mereka juga belum tentu melindungimu, kalian tidak punya manfaat nyata.

"Kalau kalian bersama kami, kalian punya nama dan punya tujuan. Orang-orang akan berlari pada kalian untuk perlindungan, kalian terima mereka dan mereka akan rela membela kalian." Gada tersenyum sekilas. "Aku tahu pura itu sakral, tapi bangunan itu tidak akan membela kalian jika Adnyana datang untuk menginvestigasi."

Senandung Jazirah (TAMAT)Where stories live. Discover now