"Kameranya ada di sini, ke mana sebenarnya anak itu," gumaman Alex terdengar cukup jelas.

Alex kini berdiri dan membuka lemari pakaian, entah sedang mencari apa sekarang. Selama itu, butir-butir keringat mulai terasa timbul di tengkuk. Aku semakin takut dan meremas tangan pemuda itu lebih keras. Tangannya pasrah dalam genggaman, sementara itu Alex masih mondar-mandir di dalam ruangan. Aku mencoba menenangkan diri. Sejujurnya, aku takut kalau kakakku bahkan mendengar suara napas kami sekarang.

Untungnya, Alex pergi tidak lama setelahnya. Aku mengembuskan napas meski belum sepenuhnya merasa lega. Setelahnya, aku menoleh kembali ke arah pemuda yang kini masih berbaring di sampingku. Aku bermaksud melepaskan pegangan. Pemuda itu urung melepaskan tanganku. Aku menoleh lalu memandangnya dan bermaksud memberikan tatapan garang yang mengancam. Namun, aku terkesiap saat pemuda itu menarik tubuhku lebih dekat. Aku menelan ludah karena kini aku berada dalam pelukannya.

"Apa yang kamu lakukan?" pekikku dalam bisikan.

"Enza?" Suara Alex kembali terdengar kembali sebelum pemuda yang kini ada di sampingku menjawab pertanyaanku.

Aku yakin seratus persen Alex mendengar suaraku barusan. Aku menatap pemuda itu dan berusaha melepaskan pelukannya. Namun, dia malah menarikku lebih erat. Dia menutup bibirku dengan tangannya. Aku menahan napas lagi sementara mataku tidak bisa lepas menatap bola mata hitam legam yang seolah bisa menelanku kapan saja.

Langkah kaki Alex terdengar mendekat lagi. Hanya saja, langkahnya terhenti saat terdengar dering panggilan telepon berbunyi nyaring. Samar-samar aku mendengar Alex berbicara dengan seseorang. Lama-lama suaranya terdengar menjauh hingga benar-benar menghilang. Aku menatap pemuda itu. Memberikannya isyarat untuk melepaskanku. Dia tidak juga melakukannya. Aku memberontak dengan kekuatan penuh.

"Lepaskan! Kubilang lepas!" kataku sambil memberontak. Aku bisa gila kalau terus-terusan dipeluk seperti ini.

"Enza—"

Suara itu berat dan serak. Napasnya yang hangat juga menyapu telingaku. Sensasi yang tidak asing. Aku menelengkan kepala, masih berusaha mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Suaranya memang asing, tapi cara dia menyebut namaku terdengar begitu akrab di telinga. Lembut dan penuh perasaan. Geral selalu memanggilku dengan nada seperti itu. Geral juga selalu menyentuhkan bibirnya hingga nyaris menempel di telingaku setiap menyebut namaku.

"Enza!" bisiknya lagi.

Aku kembali tersentak saat jemari pemuda itu menangkup pipiku. Jemarinya menelusuri garis rahang wajahku. Aku tidak tahu setan mana yang merasuki tubuhku saat ini. Entah mengapa aku tiba-tiba pasrah dengan semua yang dilakukan pemuda asing ini padaku. Aku berharap dia Geral. Geralku yang kembali dari kematian. Mungkin aku gila atau delusional, entahlah aku sendiri tidak mengerti.

"Geral?" ucapku ragu, masih mencoba memanggil nama mendiang pacarku. Berharap dia memang benar-benar bersemayang di dalam tubuh pemuda asing ini.

Berbekal cahaya remang-remang bulan purnama dari jendela. Samar-samar aku bisa melihat bibir pemuda asing itu melengkung membentuk senyuman.

"Ya, ini aku—" Suaranya serak dan lirih.

"Geral?"

Mungkin aku tampak seperti orang bodoh karena terus-terusan menyebut namanya, tetapi aku sama sekali tidak peduli apa kata orang.

"Iya. Enza."

Aku terdiam. Benar-benar sulit percaya kalau Geral yang dimakamkan beberapa hari lalu itu kini telah kembali. Aku menelusuri wajah pemuda itu untuk memastikan bahwa aku tidak bermimpi. Mataku basah karena kelegaan yang muncul tiba-tiba bercampur dengan kebahagiaan. Hatiku mungkin akan meledak saat ini juga ketika jantungku berpacu cepat. Aku bahkan tidak bisa berkata-kata sekarang.

Pemuda itu menyentuh pipiku. Menghapus air mata yang mengalir turun tanpa kusadari. Dia mengenggam butiran air mata itu di tangannya. Tindakan yang seperti Geral yang kukenal selama ini. Pemuda yang mengatakan kalau siap menggenggam air mataku dan menyimpannya di dalam hatinya.

"Geral, aku kangen," kataku sembari memeluk pemuda yang kini masih menatapku. Tidak salah lagi, Geralku telah kembali.

"Aku pulang, Enza," bisiknya lembut membelai telinga.

Aku memeluknya dengan erat dan tidak ingin melepaskannya. Dadaku membuncah, sepertinya aku tidak akan lebih bahagia daripada saat ini. Mungkin ini rasanya ketika mimpi menjadi kenyataan. Namun, kebahagiaan itu langsung menghilang ketika rasa nyeri tiba-tiba menusuk leherku. Aku memekik pelan dan menyentuhkan tanganku di leher yang tiba-tiba saja terasa perih. Cairan lengket yang aneh itu kini menempel di ujung jari. Aku mendekatkan jariku ke hidung dan mencium baunya. Amis. Ini darah, tidak salah lagi.

"Kenapa Enza?"

"Bu—bukan apa-apa," kataku sembari memeluk pemuda itu kembali. Pelukan ini lebih erat dari sebelumnya.

Geral tidak perlu tahu soal ini. Rasa nyeri itu masih terasa, tetapi senyuman mengembang di bibirku. Ritual darah itu ternyata telah dimulai karena aku berhasil sudah memanggil Geralku kembali.


One Thousand Daysजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें