"Kaget gue!" ujar Rita yang berjengit saat mendengar suara Zita. Gadis 28 tahun itu lantas meletakkan ponsel dan kacamata yang dipakainya di atas meja.

"Kayak setan emang!" tambah Theo yang duduk di seberang meja. "Tau-tau nongol."

Zita hanya nyengir kuda lalu kembali menoleh pada Siska. "Tante bersihin kamar Zita, nggak?"

"Bersihin. Kenapa?" balas Siska bertanya sambil mengambil tempat duduk di sebelah Theo.

"Zita lagi nyari liontin bentuk kunci, tapi nggak ketemu. Kali aja Tante lihat."

Siska tampak berpikir sejenak lalu menggeleng. "Tante nggak lihat. Kalau pun ada, pasti Tante taruh meja atau laci kamu. Kenapa? Kamu butuh?"

"Nggak, kok!" sergah Zita diiringi gelengan cepat. "Cuma keinget aja pernah punya jadi Zita cari."

Siska mengangguk mengerti tanpa bertanya lebih lanjut. Untuk beberapa saat tak ada suara lagi selain denting sendok dan garpu yang menyentuh piring. Mereka sibuk menikmati hidangan yang sudah tertata di atas meja.

"Kamu malam ini nginep, Ta?" tanya Radit-papa Theo-memecah keheningan.

"Kayaknya nggak deh, Om!" tolak Zita. "Tadi Zita kebetulan lewat aja, jadi sekalian mampir."

"Udah nginep aja! Sesekali nginep nggak ada salahnya, kan? Ini kan juga rumah kamu," lanjut Radit sedikit memaksa.

Zita melirik ke arah Theo yang ada di seberang meja. Matanya mengisyaratkan permintaan tolong, tapi Theo hanya mengendikkan bahu tak peduli.

"Tapi besok Zita ada kelas pagi. Tas sama buku Zita kan ada di kosan," jawab Zita beralasan, berusaha menolak untuk menginap.

"Kelas wajib, Yo?" tanya Radit pada Theo yang dijawab dengan anggukan kepala. Radit lantas menoleh kembali pada Zita. "Berarti Theo juga di kelas yang sama, kan?"

Mau tak mau, Zita terpaksa mengangguk.

"Besok bangun lebih pagi. Kamu antar Zita ke kosan dulu," perintah Radit pada Theo.

Theo mengangguk sambil memberi sikap hormat tanpa suara karena mulutnya tengah asyik mengunyah. Zita pun hanya bisa pasrah. Ia merasa tak enak juga jika harus banyak beralasan pada pria paruh baya yang sudah ia anggap seperti ayahnya sendiri. Toh, dirinya memang sudah lama tidak pulang.

Sejak ia memilih tinggal sendiri lima bulan yang lalu, Zita hanya pernah menginap beberapa kali. Tapi, meski jarang menginap, setiap dua atau tiga hari sekali, Zita selalu menyempatkan diri untuk mampir. Hal itu merupakan satu dari persyaratan dari Siska dan Radit agar mengijinkannya tinggal sendiri.

Andri, papa Zita--yang merupakan orang tua tunggal dan bekerja sebagai management consultant--tidak tega melihat putri satu-satunya itu harus tinggal sendiri. Pekerjaan menuntutnya untuk sering bepergian ke luar kota bahkan luar negeri dalam kurun waktu tertentu. Rasa khawatir itulah yang mendorongnya meminta bantuan Siska--adik kandungnya--untuk menjaga dan merawat Zita selama dirinya pergi.

"Kamu nggak pernah ada masalah, kan?" tanya Siska tiba-tiba.

Masalah?

Zita tersenyum sambil menggeleng. Memang tidak ada masalah yang menimpanya sampai sekarang. Atau mungkin belum? Zita hanya bisa berharap segalanya tetap baik-baik saja.

"Kalau ada apa-apa langsung bilang, ya?" pesan Siska lebih seperti perintah. "Obatnya masih rajin kamu minum, kan?"

Zita hanya mengangguk. Ia tersenyum getir dalam hati mengingat dua butir obat yang harus rutin ia minum tiap hari. Ditambah kontrol mingguan ke psikolog. Hal yang melelahkan tapi tak bisa Zita lewatkan jika ia ingin sembuh seutuhnya.

...

TBC

...

Nah, mulai terkuak satu per satu kaaaaannnn?

Zita ternyata harus ke psikolog secara rutin, berarti ada masalah sama mentalnya dong?

Apa masalahnya?

Sabar-sabar...

Mari kita tunggu chapter selanjutnya....
Yang entah kapan publishnya...

Wkwkwk...

050722

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

050722

My True Me (END)Where stories live. Discover now