Epilog

68 3 1
                                    


Rumahku sangat ramai hari ini. Matahari begitu cerah, namun duniaku begitu gelap. Bendera kuning tertancap di depan rumahku. Awan hitam menyelimuti mataku. Satu per satu orang-orang mengucapkan bela sungkawa kepadaku yang hanya ku balas dengan anggukan dan senyuman sebisaku. Tak kusangka secepat ini aku kembali ditinggal ayah dan ibu, sedangkan minggu lalu, kami begitu dekat hingga ku kira kami tak akan berpisah selamanya.

"Ayah dan ibu sudah perjalanan pulang, Ra. Insyaallah besok sampai rumah." Pesan terakhir ibu di aplikasi chat yang tak pernah ku sangka itu menjadi yang terakhir. Ia tak bohong. Ayah dan ibu benar-benar pulang. Namun sayangnya harus dengan mobil jenazah yang membawanya. Ezra dan Firman menangis begitu tersedu-sedu di pelukanku, sedangkan aku harus tetap tegar untuk menguatkan mereka meski perasaanku sendiri begitu hancur.

Alya turut datang mengucapkan duka cita kepadaku, kami berpelukan dan menangis bersama. Disusul teman-teman sekelasku, termasuk Karin. Oh iya, Karin kini sangat baik kepadaku. Bahkan kami cukup akrab. Entah apa yang membuatnya berubah, namun aku cukup bahagia ia mau menerimaku apa adanya.

Setelah dimandikan, dan disholatkan, jenazah ayah dan ibu siap untuk diberangkatkan ke makam. Melihat dua raga yang sangat ku cintai terbujur kaku, air mataku seakan meledak-ledak untuk keluar, dadaku begitu sesak tak terkira, namun sekuat tenaga ku tahan. Mereka berdua diberangkatkan ke makan. Para warga mengantar diiringi dengan dzikir. Tertulis di keranda lafadz "La ilaha illallah Muhammadur rasulullah" dan "Inna lillahi wa inna ilaihi raju'un". Bahwa memang, manusia hanya pandai menciptakan kemungkinan-kemungkinan dan rencana, namun Tuhan Sang Penguasa alam raya lah satu-satunya yang memiliki kepastian.

Jasad ayah dan ibu masukkan ke liang lahat, lalu dipendam dengan tanah, tanda selesainya tugas mereka di dunia. Mungkin begitu, Tuhan begitu sayang dengan mereka hingga Ia ingin cepat-cepat bertemu dengan ayah dan ibu. Entah kenapa, meski sedih, tapi aku sangat bangga dengan mereka berdua. Seorang ayah yang begitu lembut dan tanggung jawab, dan ibu yang rela melakukan apapun demi kami, anaknya. Mungkin, penduduk langit pun kini bertepuk tangan untuk mereka karena bangga atas perjalanan hidup kedua insan yang sangat ku cintai itu.

Alya kembali memelukku, aku bilang kepadanya kalau aku pasti kuat. Diseberang, ku lihat ayah kandungku juga hadir. Setelah semua orang pergi, ia menghampiriku. "Yang kuat ya, Ra. Kalau kamu butuh apa-apa, kamu bilang ke ayah ya, gak perlu sungkan." Katanya. Aku membalasnya dengan anggukan dan senyuman.

Lagi-lagi aku harus bertemu dengan kehilangan. Tak kusangka seisi alam raya begitu menginginkanku tumbuh sebagai seorang yang begitu kuat untuk menghadapi seluruh ujian yang bertubi-tubi. Selain kehilangan orang yang ku sayang, aku akhirnya kembali kehilangan kesempatanku untuk meneruskan cita-citaku. Tak mengapa.

Pada titik ini, aku sudah mengerti, bahwa, Tuhan tidak akan memberikan ujian diluar batas kemampuan hamba-Nya. Oleh karena itulah aku pasti mampu melewati ini semua.

Tak seperti sebelumnya, kesedihanku saat ini tak seperti dulu lagi. Kini aku merasa kehilangan ini justru memberiku kekuatan untuk berjalan ke depan meneruskan hidupku lagi. Meski pertanyaan lain kerap merasuki pikiranku, "Perlu berapa kali lagi kehilangan yang harus ku hadapi, tidak cukupkah?" Namun, masih ada tugas penting yang harus ku selesaikan hingga akhir hayatku.

"Jaga diri kamu baik-baik ya, jaga adek-adek kamu juga. Ayah tahu kamu anak yang kuat, Noura,"

"Jaga diri baik-baik ya, Ra."

Mereka memberiku tugas untuk menjaga diriku sendiri sebaik mungkin, juga menjaga adik-adikku sebagai amanah dari ayah dan ibu. Mungkin dengan begitu, ayah dan ibu akan senang melihat dari alam sana.

Kini, meski sedih masih menguasai diriku, rasa tenang tiba-tiba muncul, lalu seolah semesta memberiku kekuatan untuk kembali tersenyum. Aku adalah Noura. Cahayaku tak boleh mati, karena aku harus menjadi cahaya yang menyinari orang lain, juga diriku sendiri. Aku percaya, seseorang yang telah terbiasa berdiri saat diterjang badai, tak akan goyah sedikitpun saat diterpa gerimis. Lalu aku menyadari sesuatu dan tersenyum. Ternyata, sekuat itulah diriku. Atas perjalanan hidupku, aku bangga pada diriku sendiri. Ayah, ibu, aku janji akan menjaga Ezra dan Firman, juga diriku sendiri.

Semoga kalian bahagia disana. Kini, doaku hanya satu, semoga, aku tak pernah kehilangan diriku, lagi.

T A M A T

Ketika Bintang Kehilangan CahayanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang