Prolog

728 89 44
                                    

Aku, seorang anak sulung perempuan. Pelindung kedua adik laki-lakiku. Penopang harap kedua orangtuaku.

Aku bersyukur terlahir sebagai anak perempuan.

Aku juga bersyukur terlahir sebagai anak pertama.

Namun, saat anak perempuan dan anak pertama menjadi perpaduan di dalam diriku, rasanya, syukur menjadi kata penuh perjuangan, penuh pencarian. Perjuangan seumur hidup, pencarian sepanjang umur.

Saat anak-anak lain terbang sempurna dengan dua sayapnya—kedua orang tuanya, aku tertatih saat mengangkasa hanya dengan satu sayapku yang cacat.

Manusia adalah sekumpulan wujud yang memainkan perannya masing-masing.

Layaknya bintang bintang yang bertabur sembarangan di angkasa. Masing-masing dengan sinar dan kilaunya.

Namun, saat bintang melesat tanpa arah, ia benar-benar berbahaya. Menabrak bintang lain dan keduanya hancur berkeping-keping, merusak peredaran.

Sama halnya bintang jatuh, ia adalah asteroid kecil dari luar angkasa yang tertarik oleh gravitasi bumi. 

Ketika memasuki atmosfer bumi, ia bergesekan udara di lapisan ionosfer menyebabkan meteor panas dan terbakar dan menimbulkan cahaya terang. 

Anehnya, ia adalah keindahan bagi penduduk bumi yang menyaksikan.

Apakah itu berarti, bahkan di dalam kehancuran pun, terselip didalamnya keindahan? Biar alam raya yang nantinya menunjukkan jawabannya, semoga.

***

"ISTRI KURANG AJAR!" Teriak seorang laki-laki dengan menudingkan telunjuknya.

"KAMU TUH! SUAMI GA TAU MALU!" Perempuan didepannya mendongakkan kepalanya. Lalu berdiri.

Kalimatnya sedikit tertahan, sebelum akhirnya keluar, bersamaan dengan air mata yang tak bisa ditahan.

"Aku... aku masih bisa sabar dengan sikapmu selama ini. Tapi, saat aku lihat kamu bersama... " Bibirnya tiba-tiba tercekat.

"Aku perjuangkan anak-anakku sendirian. Aku perjuangkan keluarga ini sendirian, mas! KAMU? APA?" Suara wanita itu bergetar hebat. Menumpahkan segala sesak yang dirasa. Sesak yang telah tertahan sangat lama.

Plaakk...

Ucapan wanita itu berakhir dengan tamparan telak dipipinya. Tamparan yang membuat air matanya habis, tak tersisa.

Rumah yang kata orang-orang adalah surga, namun tidak bagiku, sama sekali tidak.

Rumah bagiku adalah kubangan neraka yang dibuat oleh dua orang yang aku sayangi.

Ya, laki-laki itu adalah ayahku, dan wanita itu adalah ibuku.

Adakah pecinta mencaci yang dicinta?

Adakah pecinta melukai yang dicintai?

Mereka yang terpaut janji suci atas nama cinta tapi saling menyakiti, apa itu bisa disebut cinta?

Ah aku masih terlalu kecil. Aku pun tak tau apa itu sebenernya cinta.

Dua manusia yang saling mendeklarasikan cinta, diikat oleh akad yang disaksikan ribuan malaikat.

Satu kalimat yang diucapkan di bumi namun menggemuruhkan langit.

"qobiltu nikahaha wa tazwijaha bil mahril madzkur" lalu disambut antusias "sah!" oleh manusia disekelilingnya.

Maka dimulailah perjalanan bahtera mengarungi samudra luas. Berdayungkan harapan-harapan, berlayarkan janji-janji, semua terlihat akan baik-baik saja hingga dermaga.

Lantas apakah semuanya akan baik-baik saja? Ternyata tidak semudah itu.

Baru sepertiga perjalanan, awan menghitam. Rintikan masalah turun bersama hujan. 

Ombak ujian mulai melambai-lambai lalu menghantam. Sedang dermaga belum lagi terlihat. Balik arah pun tak dapat.

Disitulah aku.

Terduduk di pojok kabin kapal dan hanya bisa menutup telinga sembari menangis berharap suara guntur yang memekakkan tak menembus telingaku, namun sia sia.

Hanya menunggu waktu kapal yang aku naiki hancur. Kapal yang dibuat oleh kedua orangtuaku.

Aku, seorang gadis yang dituntut dewasa, bahkan sebelum waktunya.

Segala harap dan tuntutan tertumpu dipundak kecilku.

Impian menjadi korban terpenjaranya raga.

Oh Tuhan, bolehkah aku menyerah?

~~~

Auzoraaaaa
08 Februari 2021

Gimana first impression kalian dengan cerita ini? :)

Follow ig
@auzoraaaaa

@mghib_

Ketika Bintang Kehilangan CahayanyaWhere stories live. Discover now