Chapter 21 : Harapan

28 2 0
                                    

Sepertinya, aku terlalu sering membahas malam. 

Meskipun begitu, aku akan tetap membahasnya. Bagaimana tidak, ia menjadi saksi saat pipi-pipi mulai terbasahi oleh air mata, sesak yang dirasa sendirian, pertengkaran antara diri dengan pikiran, dan segala hal yang tak akan dilihat manusia pada siang hari. 

Ia juga saksi atas mata-mata yang sedang mengagumi keindahan ciptaan Tuhan pada konstelasi bintang, bercengkrama dengan damai dibawahnya, sesekali tertawa lepas, sesekali lainnya tangis yang tumpah tak dapat ditahan, orang dihadapannya menenangkan, meyakinkan kalau semuanya akan baik-baik saja.

"Ra." Panggilnya lembut. Kerutan di wajahnya kerap membuatku bersalah. Pertanyaan seperti, apa yang harus aku lakukan untuk membahagiaakannya selalu memojokkanku.

"Iya bu?" Aku menghampirinya, duduk di sebelahnya. Tidak ada teh kali ini, hanya dua detak jantung yang saling ingin mengerti. Ezra dan Firman telah tertidur sejak tadi.

"Ibu mau ngomong sama kamu," ucapnya. Terakhir kami duduk berdua seperti ini saat kami bersepakat soal aku yang akan bekerja membantu ibuku dan menunda kuliahku.

Setelah aku pikir-pikir kembali, mungkin memang itulah jalan yang terbaik. Aku tak mungkin bisa tenang meninggalkan ibu yang harus berjuang sendirian menafkahi Ezra dan Firman, serta aku dengan biaya kuliah dan kebutuhan hidupku. 

Meskipun aku bisa saja kuliah sambil bekerja, namun tetap saja lebih baik aku fokus bekerja. Selain untuk membantu ibuku, aku mungkin bisa juga untuk menabung untuk kuliahku sendiri beberapa tahun mendatang.

"Bagaimana di sekolah, Ra?" tanyanya. Aku bisa mengetahui kalau itu bukan inti permasalahan yang akan ibu bicarakan. Sepertinya ada sesuatu yang besar yang akan ibu diskusikan denganku.

"Alhamdulillah bu. Meskipun nanti kuliahnya agak telat, tapi aku tetap berusaha biar dapet nilai tinggi kok bu. Bukan tentang nilainya sih, tapi memang aku belajar kan buat ngilangin kebodohan."

Ibu tersenyum. Kalimatku kurangkai sedemikian rupa agar tak mengecewakannya.

"Ada apa bu?" tanyaku penasaran.

Tiga empat detik ia biarkan berlalu tanpa kata. Memberi jeda agar sesuatu yang mungkin telah lama berdiam di pikiran bisa keluar dengan tepat.

"Ra, kalau ibu menikah lagi, gimana menurut kamu?" ucap ibu. Nadanya terdengar khawatir. Entah khawatir dengan jawabanku, atau khawatir dengan dirinya sendiri.

Aku tentu saja terkejut. Apakah aku siap untuk menerima orang baru masuk ke kehidupan kami? Bayangan-bayangan masa lalu dari ayahku seolah berputar-putar dikepalaku. Masing-masing berebut memenuhi ruang pikiranku. 

Apakah seseorang yang akan bersama ibuku tidak akan mengecewakan kami lagi? Atau justru berbuat lebih buruk dari ayahku? Jujur saja aku rindu dengan ayahku, yang dulu. Kenangan-kenangan indah itu ingin sekali aku mengulanginya. Namun, pasti mustahil.

Disisi lain, aku kasihan dengan ibu. Di umurnya yang tak muda lagi, ia harusnya beristirahat dirumah, pusing mau masak apa buat siang dan malam, kebutuhan apa yang harus dibeli, seperti ibu-ibu pada umumnya, bukannya bekerja dari pagi hingga petang. Berbincang dengan seseorang yang ia cintai. Menghabiskan dan bahagia di masa tua bersama.

"Kalau Noura sih, mungkin agak sulit mempersilahkan orang baru untuk masuk ke kehidupan kita, Bu. Tapi kalau dipikir pikir lagi, sepertinya itu membaikkan buat semuanya bu."

"Membaikkan?" tanya ibu.

"Iya, Bu. Ibu sudah ada calonnya?"

"Kamu kenal kok Ra."

"Kenal?" Mataku menyelidik, bertanya-tanya. Aku tak pernah melihat ibu dekat dengan siapapun, apalagi yang aku kenal.

"Dia guru agamamu, Ra. Pak Muslih."

"Pak Muslih?" Aku terbelalak.

"Iya, Ra." jawabnya tenang.

Antara bingung dan bahagia, sepertinya, rasa bahagia lebih mendominasi, entah kenapa. Mungkin karena aku kenal Pak Muslih orang yang baik, terlebih beliau guru agamaku sendiri. Hubunganku dengan beliau juga lumayan dekat. Aku benar-benar tidak menyangka.

"Noura setuju, Bu!" ucapku tanpa pikir panjang lagi.

"Alhamdulillah kalau kamu setuju, Ra. Ibu sudah ngobrol cukup serius dengan Pak Muslih tentang ini. Sebulan yang lalu, Pak Muslih bilang ingin menikahi ibu. Namun ibu hanya akan memberikan jawaban setelah ngobrol sama kamu."

Pak Muslih telah kehilangan istrinya lima tahun yang lalu dan beliau belum dikaruniai seorang anak pun. Beliau sering sekali mengajakku berbincang dan memberiku nasihat ketika melihatku duduk sendirian di masjid sekolah. 

Aku sangat yakin beliau bisa menjadi imam yang baik untuk ibu dan juga keluarga kecil kami.

***

Hari demi hari berlalu cepat sekali. Seminggu kemudian, Pak Muslih melamar ibu. Sebulan kemudian, mereka berdua menikah. Senyuman mereka berdua begitu membuat hatiku tenang. Sudah lama sekali aku melihat ibu tak tersenyum selebar itu.

Alam semesta selalu saja punya caranya sendiri untuk membuatku takjub. Bagaimana aku yang terus saja dibuat runtuh, selalu merasa dipecundangi dunia, lantas ingin menyerah saja, namun ia justru memberikan kejutan yang membuatku tersipu malu di akhir cerita.

Apakah kau pernah menemui, siang hari yang sangat panas, hingga kau yakin seharian cuacanya akan sepanas itu. Hingga mau keluar rumah saja rasanya enggan, namun saat menjelang sore, tiba-tiba awan menghitam dan hujan turun hingga larut malam? 

Apakah kau pernah melihat, hujan angin yang begitu kencang disertai gemuruh dan kilatan petir, yang rasanya, melihat ke langit saja sudah ngeri, namun setelah beberapa jam, ia mereda, lalu berhenti dan menghadirkan pelangi yang begitu indah dan matahari yang kembali muncul di sela sela awan hitam?

"Ra, kamu harus lanjut kuliah ya! Dimana pun yang kamu pilih, ayah akan selalu mendukungmu." Ucapnya begitu meneduhkan. 

Sebuah ucapan yang sudah sangat lama aku rindukan. Saat aku tersesat di hutan belantara, terombang-ambing oleh takdir, hingga kehilangan harapan. Tuhan berikan sosok baru di kehidupan kami yang mampu membangkitkan harapan itu kembali.

Ezra dan Firman tentu saja sangat bahagia. Karakter Pak Muslih yang sangat mudah akrab membuat mereka berdua betah sekali berbincang dengannya, hingga lupa ada game yang baru suju turun rangkingnya. Kini Pak Muslih bukan lagi sekedar guruku, namun ayah baruku.

Ibu sudah tidak lagi bekerja. Aku begitu bahagia melihat ibu yang terlihat bahagia saat menyiapkan kebutuhan ayah, memasak masakan yang berbeda-beda tiap hari untuk kami, meja makan yang kembali hidup dengan suasana yang sangat hangat.

Oh Tuhan, aku mohon, jaga senyum mereka.


~

Pelangi mungkin beberapa kali hadir, memberikan keindahan dan rasa nyaman.

Tapi, adakah pelangi yang bertahan lama? Jelas tidak.

Pelangi memang datang usai hujan,

Tapi, ribuan kali juga hujan turun tanpa diakhiri oleh pelangi.

Sialnya kebanyakan,

Dalamnyaekspektasi berbanding lurus dengan dalamnya luka nanti.

~

Ketika Bintang Kehilangan CahayanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang