Chapter 18 : Suara Masa Lalu

101 26 14
                                    

Aku adalah anak tunggal. Seluruh perhatian orang tuaku hanya tertuju padaku. 

Kau pasti kebingungan membaca ini. Aku siapa, dan apa tujuanku menceritakan ini. Itu tidak penting. Lagi pula, dunia tidak pernah memberiku kesempatan untuk bercerita.Tapi ku mohon, izinkan aku untuk bercerita kali ini. Aku sudah tidak tahu lagi ingin bercerita dengan siapa.

Seperti yang ku katakan tadi, dunia tidak pernah memberiku kesempatan untuk berbicara. Seluruh dunia menghakimi diriku. Bahkan, ketika aku bersuara, aku selalu saja dipaksa bungkam dan tunduk pada sesuatu yang tidak seharusnya aku terima.

Kau tahu rasanya hidup saat sudah tak memiliki harapan dan tak diharapkan? Kau tahu rasanya hidup saat sebenarnya kau sedang di titik terendah dan butuh bantuan seseorang, namun kau justru dibuat semakin terpuruk? Aku harap tidak. Maka, biarkan aku bercerita. Setidaknya, agar ada pelajaran yang diambil dari hidupku.

Aku tidak peduli kau akan menghakimiku seperti kebanyakan orang, bahkan sampai orang-orang terdekatku yang seharusnya menjadi pelindungku, atau kau akan simpati padaku.

Itu pilihanmu. Kau bebas menentukannya sendiri. Aku harap, hati nuranimu berfungsi.

Aku tumbuh di lingkungan yang sangat religius. Meskipun aku bukan anak kyai ataupun ulama, namun ayahku adalah seorang imam tetap di masjid lingkunganku. Semua orang sepakat tanpa musyawarah untuk menghormatinya.

Ibuku tidak bekerja. Seluruh waktunya hanya untuk ayah dan aku.

Hidupku sempurna. Aku dimanja oleh kedua orang tuaku. Meskipun jika dalam urusan agama, ayah dan ibu sangat ketat bahkan tak segan untuk memukulku dengan rotan, namun aku tahu itu demi kebaikanku.

Aku dulu selalu marah jika dipukuli rotan oleh ayah, hanya karena aku lebih mementingkan kartun kesukaanku yang hanya tayang seminggu sekali dan bolos mengaji. Padahal mengaji di masjid aku lakukan setiap hari dan kartun kesukaanku itu hanya seminggu sekali. Sebal!

Namun semakin dewasa, aku semakin mengerti. Dan, oh! Untungnya dulu ayah memperlakukanku seperti itu, jadi aku sekarang sangat bersyukur karena bisa mengaji dengan fasih.

Bukan bermaksud apa-apa, ini hanya bentuk nyata kenapa aku bersyukur. Banyak sekali teman-temanku di SMP maupun SMA, mereka mengucapkan "Allah" saja masih ada huruf "wawu"-nya. Padahal, bunyi tebal itu hanya karena pangkal lidah yang menempel di langit-langit mulut, bukan karena ditambah dengan huruf wawu. Memanggil Tuhan sendiri saja salah.

Beberapa aku beri tahu, ada yang menerimanya dengan baik, ada yang malah menceramahiku balik, "Bukan ustadzah sok sokan mbenerin," entahlah, yang penting kewajibanku memberi tahu sudah gugur.

Ayah dan ibuku selalu mengapresiasi seluruh pencapaianku, bahkan sekecil berhasil menghafal surat-surat pendek. Aku akan ditawari maunya apa, dan es krim selalu menjadi pilihanku. 

Entah mengapa aku tidak terlalu tertarik dengan boneka ataupun mainan yang menurutku tidak terlalu ada manfaatnya bagiku. Kalau es krim kan, enak, langsung bisa aku rasakan manisnya.

Hari demi hari berlalu, aku mulai menginjak bangku SD. Aku selalu aktif di kelas, teman-temanku semuanya baik padaku. Meskipun terkadang, ada teman cowok yang meminta makananku dengan paksa, aku berikan saja, toh uang jajanku masih banyak dan bisa membeli lagi, dari pada ribut, pikirku.

Aku seolah menjadi murid kesayangan para guru di sekolah. Sejak kelas satu, aku tidak pernah keluar dari tiga besar. Dari kelas tiga sampai kelas enam, aku tak pernah absen di urutan teratas. Dan tentu saja, setiap tahun aku ditawari apa saja oleh ayah dan ibu, meskipun tetap es krim pilihanku. 

Aku suka sekali es krim coklat. Karena sebenarnya bahagiaku bukan terletak di es krim itu, namun pelukan yang aku dapatkan dari orang tuaku ketika mencapai sesuatu. Dan puncak bahagiaku adalah ketika ayah dan ibu mengatakan, "Ayah dan ibu bangga sama kamu," Rasanya seperti diberkati sekali hidupku.

Ketika Bintang Kehilangan CahayanyaWhere stories live. Discover now