Chapter 3 : Kemungkinan Yang Disemogakan

162 50 9
                                    

"Pak, tambal ban dimana ya?"

"Aduh dek, agak jauh. Tapi ini tinggal lurus aja, nanti sebelum perempatan ada tulisan tambal bal, nah itu," ujar lelaki paruh baya yang mengenakan kaos partai.

"Oh ya, makasih pak."

"Sama-sama dek."

"Mari pak." Aku mengangguk takzim padanya, lalu kembali mendorong motor dengan ban yang kehilangan anginnya.

"Mari mari."

Banyak sekali hal tak terduga di hidup ini. Terkadang kejutan itu membahagiakan, tapi yang membuat kesal juga banyak. Ban bocor di saat perjalanan pulang dari sekolah salah satunya.

Matahari sedang terik-teriknya. Lihat saja, tidak ada awan yang berani menutupinya. Sepertinya, dia sedang mengejek kemudian tertawa terbahak-bahak melihatku kepanasan, menuntun motorku sendirian, membawa tas punggung berisi buku-buku tebal, dan jilbabku yang bahkan cukup basah dengan keringat.

Aku terus berjalan mengikuti arah yang ditunjukkan bapak tadi sambil ngomel-ngomel dalam hati.

"Bannya bocor neng?" tanya salah satu bapak-bapak yang sedang nongkrong di warung kopi pinggir jalan.

"Ya iyalah bocor, emang gak bisa liat? Kalo ga bocor ya ngapain gue dorong," ujarku dalam hati.

"Iya pak, hehe," ujarku dengan lisan.

"Oh," jawabnya sambil mengangguk-angguk dan menatapku iba.

"Sial, gamau nolongin apa?" Kesalku dalam hati lagi.

Perempatan jalan masih jauh. Apa boleh buat, aku masih mendorong motorku. Sesekali berhenti dan mengusap keringat yang berceceran di wajahku sambil berharap ada yang mau membantuku. Meskipun, sepertinya tidak ada.

"Kenapa?" Seseorang mengejutkanku dari belakang.

Tiga anak laki-laki menghampiriku. Mereka datang dengan dua motor. Yang satu mengendarai motornya sendiri, yang lain berboncengan. Aku perkirakan, mereka seusia denganku, terlihat dari mereka yang masih mengenakan seragam putih-abu-abu.

"Ini, bannya bocor." Aku menunjuk ban belakang yang terlihat mengenaskan dan tak mampu lagi menopang berat motor.

Tiga orang ini yang satu lebih tinggi dariku. Kulitnya putih. Rambutnya cukup berantakan. Mengikutinya dari belakang dua orang, mereka berdua lebih tinggi lagi dari yang pertama. Kulit mereka berdua sawo matang, rambutnya rapi, yang satu memakai kacamata, yang satu tidak. Ah, dihadapan tiga laki-laki ini, terlihat sekali aku sangat pendek.

"Mau kemana?"

"Pulang."

Dia menaruh kedua tangannya di pinggang lalu membalikkan punggung mengarah ke dua temannya. Tiga orang di depanku terlihat diskusi. Mungkin sedang mencari solusi.

"Ngapain sih repot-repot?"

"Gue buru-buru, man."

"Ini cewek bro, kasian doi dorong motor panas-panas."

"Ah terserah lu deh."

Dia menghadapku lagi.

"Gimana kalo lu gue anterin ke rumah, terus temen gue yang ngurus motor lu ke bengkel?"

"Terus nanti gue ngambil motornya gimana kalo udah selesai ditambal? Emang mau nganterin motornya ke rumah?"

Dia menoleh ke kedua temannya, dijawab dengan gelengan kepala secara cepat.

"Lagian, gue juga ga mau diboncengin sama cowok," tambahku.

"Mau ditolongin gak?"

"Iya."

Ketika Bintang Kehilangan CahayanyaWhere stories live. Discover now