Chapter 20 : Terkubur

21 3 1
                                    

Semua resah sepertinya kini telah lelah untuk singgah. Entah karena telah terbiasa dengan resah, ataupun karena lelah dengan segala resah. Atau mungkin, ia telah terseret oleh angin kelegaan atas maaf yang ia hembuskan.

Segalanya diam-diam ingin dimakna secara berbeda. Malam yang bagi sebagian orang adalah kegelapan, sebenarnya juga bisa berarti kedamaian, ketenangan, bahkan keindahan. Mungkin siang memang begitu terang, tapi yang menarik, meski malam dipenuhi gelap, ia juga bertaburkan bintang, yang dimana ia tak nampak pada siang.

Malam-malam panjang penuh pertanyaan kini mulai terurai, satu per satu. Saat maaf diberikan, kepada apa, siapa dan segala. Saat syukur dilangitkan. 

Langit lalu menurunkan kedamaian kepada bumi. Maaf, ternyata bukan hanya tentang orang lain, tapi demi diri sendiri. Mulai sekarang, mungkin maafku yang harus diluaskan.

Aku semakin dekat dengan ketakutanku, masa depan. Kini, aku telah menginjak kelas 12 setelah mendapat rangking satu paralel, lagi, di kelas sebelas semester dua. 

Tentu aku tak serta merta menurunkan belajarku hanya karena masa depanku belum jelas bagaimana. Entahlah, aku hanya mampu berusaha sebaik mungkin apa yang ada di depan mata saja. Aku tak berani menatap terlalu jauh lagi. Aku sudah terlalu lelah kecewa. Hanya berjalan di rel takdir Sang Pencipta, sambil menjalankan kereta sebaik mungkin.

"Jadi gimana Ra, mau lanjut dimana?"

Pertanyaan seperti itu seperti momok bagiku. Aku selalu kebingungan harus menjawab apa, lebih tepatnya, terlalu malas untuk menjawab. "Ya, doain aja deh," jawabku tak ingin memperpanjang urusan.

Meskipun aku sendiri takut untuk menghadapi masa depan, disisi yang lain, aku juga percaya pada takdir Tuhan. Mungkin, aku terancam tidak bisa menggapai mimpiku, namun, hikmah dibalik ini pasti menakjubkan, misalnya seperti menjadikanku seseorang yang lebih kuat lagi. 

Aku adalah Noura, cahaya untuk orang-orang yang ku sayangi, cahaya untuk diriku sendiri. Tak akan kubiarkan cahayaku redup kembali.

"Jadi, bagaimana keputusan kamu terkait beasiswa ke London, Noura?" tanyanya dengan nada yang sedikit khawatir.

Semakin dewasa, pilihan-pilihan sulit semakin sulit dihindari. Pengorbanan menjadi hal yang semestinya. Penyesalan seolah menanti di depan sana. 

Siapa yang tak senang saat impiannya berada tepat di depan matanya? Namun sayangnya, takdir menjeratku dengan jalan yang berbeda. Aku tak bisa lepas dari cengkraman. Ya, mungkin aku harus melihatnya dari sudut pandang lain. 

Aku memang seseorang yang dibutuhkan di keluargaku. Bagaimana jadinya adik-adikku tanpa aku. Betapa beratnya tugas ibu jika aku tak membantunya. Mungkin, Tuhan sedang menginginkanku lebih dekat lagi dengan keluargaku. Merapikan yang masih berantakan, membenahi yang salah.

"Maaf pak, sepertinya saya belum bisa menerima tawaran itu," jawabku hati-hati.

"Loh, kenapa Nak? Bukankah ini mimpimu sejak lama?"

"Benar sekali, Pak. Tapi, saya belum bisa melanjutkan sekolah setelah lulus ini. Saya harus membantu ibu saya mencari uang untuk kebutuhan adik-adik saya. Saya harap bapak maklum."

Dan terkuburlah cita-citaku yang begitu tinggi itu, terkubur sangat dalam. Aku tak tahu apakah suatu saat nanti aku berani menggalinya kembali.

"Mau lanjut kemana?"

"Ke UI."

"Ke UGM."

"Ke ITB."

"Ke Jepang."

"Ke Jerman."

Begitulah suasana kelasku, dengan mimpi-mimpi yang menjulang tinggi, harapan-harapan yang terbang bebas, meninggalkanku sendirian yang tak memiliki sayap untuk terbang.

Di semester satu kelas dua belas ini, mulai diadakan kelas tambahan mulai jam ke-0 pelajaran. Jadwal pelajaran juga semakin padat karena mengejar sisa-sisa materi sebelum banyaknya rangkaian ujian di semester dua. 

Tugas-tugas semakin tumpang tindih. Untungnya, aku telah lepas dari jabatanku sebagai sekretaris di OSIS, jadi aku memiliki lebih banyak waktu untuk belajar.

Selain untuk ujian dan masa depan, aku memang suka belajar. Ada sebuah sensasi tersendiri saat aku berhasil memecahkan soal yang begitu rumit. Juga saat dibuat takjub oleh suatu ilmu baru yang aku ketahui.

Meski begitu, nalar selalu saja punya cara untuk mengerjaiku. Mempertanyakan kembali alasan yang memaksaku menemukannya kembali.

"Assalamu'alaikum. Pengumuman-pengumuman. Ini barusan dari kumpul ketua kelas. Ini yang namanya distabilo berarti termasuk siswa eligible yang bisa daftar SNMPTN," ujar Angga sambil memperlihatkan sebuah kertas yang ia pegang dengan tangan kanannya. Kertas yang menentukan takdir bagi seluruh teman kelasku, kecuali aku. "Ini, liat saja disini ya, gua tempel," kata Angga tepat seltelah menempelkan kertas itu di mading kelas.

"Yess namaku masuk!"

"Alhamdulillaah!"

"Sip ada peluang nih, pasti aku lolos SNMPTN!"

"Aduh aku gak masuk, sial."

Berbeda denganku yang sama sekali tak antusias bahkan untuk sekedar melihatnya.

"Ra, namamu masuk!" seru Alya.

"Lu gimana, Ya?" Aku tak berminat untuk membicarakan diriku sendiri.

"Alhamdulillah masuk."

Keheningan menguasai beberapa detik, meninggalkan pertanyaan, lalu pergi.

"Lu masih di keputusan yang sama, Ra?" Alya duduk disampingku. Wajahnya mengkhawatirkanku. Ku balas dengan senyuman memberi isyarat bahwa aku baik-baik saja.

"Yah, udah jalannya kayak gini Ya. Lu kan juga tahu masalah gue kayak gimana. Jadi ya dijalani saja, sambil belajar ikhlas."

"Lu hebat Ra," kini Alya yang tersenyum.

"Mulai dah dramanya,"

"Eh serius bubur sumsum." Tangan Alya mendarat di wajahku membabi buta gemas.

Bahkan sebenarnya, dalam satu kelas, tidak semuanya termasuk siswa eligible. Seperempat dari kami tidak bisa mengikuti tes SNMPTN. Aku adalah orang beruntung yang banyak orang ingin berada di posisiku tapi aku justru harus merelakannya, apa aku kufur nikmat? Aku kembali menundukkan kepala dalam-dalam. Sedalam cita-citaku yang juga ikut terkubur.

***


Saat bercengkrama dengan sunyi,

Ingin sekali aku bertanya pada semesta,

Sebanyak apalagi hal-hal yang harus ku relakan?

Angin yang berhembus seolah membawa pesan yang ingin dipahami.

Hening yang merajai seolah memberi ruang untuk memaknai.

Berdiskusi dengan nalar yang sialnya semakin memojokkan saja.

Hingga setiap sudut di pikiranku kehilangan daya.

Pasrah dan berserah, lalu hanya ingin melihat,

Bagaimana semesta bekerja.

Ketika Bintang Kehilangan CahayanyaWhere stories live. Discover now