Chapter 25 : Hilang

54 2 0
                                    

Kedua orang tuaku telah meninggal sejak lama, kemudian aku diasuh oleh kakek dan nenek. Aku tumbuh menjadi anak yang cukup diakui di dalam akademik. Nilaiku selalu bagus, peringkatku selalu teratas. 

Hingga setelah aku lulus SMA, aku tak bisa meneruskan pendidikanku karena masalah biaya. Aku pun terpaksa berhenti sekolah lalu bekerja sebagai penjahit bersama beberapa kawanku di desa. Aku nyaman dengan pekerjaanku sekarang. Ternyata, putus sekolah tak terlalu buruk juga.

Setelah beberapa lama, aku bertemu dengan Burhan. Lelaki yang sebenarnya terlihat biasa saja namun mampu membuatku jatuh hati padanya. Ia selalu bisa membuatku terasa begitu dihargai dengan pujian-pujian yang ia sampaikan. Ia tak pernah melihat kekuranganku sebagai sesuatu yang memburukkan. Beberapa bulan kemudian, ia berhasil meyakinkanku untuk melanjutkan hidup bersamanya.

Saat aku bersamanya, rasanya, dunia seakan telah sempurna. Tak ada lagi yang aku butuhkan. Aku meninggalkan pekerjaanku dan sempurna menjadi ibu rumah tangga untuk melayani suamiku.

Beberapa bulan sebelum dua tahun pernikahanku, aku melahirkan seorang anak pertamaku. Namanya Noura. Aku telah memikirkan nama itu sejak lama sekali. Ku harap, ia akan menjadi cahaya bagi sekitarnya dan dirinya sendiri.

Lalu beberapa tahun berselang, lahir anak kedua dan ketigaku, Ezra dan Firman. Apa lagi yang aku butuhkan? Aku benar-benar bahagia dengan keluarga kecilku.

Noura tumbuh menjadi anak yang cerdas, aku sangat bangga padanya. Burhan juga begitu menyayangi anak-anakku.

Hingga suatu ketika, suamiku mulai menunjukkan gelagat yang tidak beres. Matanya mulai penuh kebohongan. Aku masih mendiamkannya karena tak ingin buruk sangka terhadap orang yang begitu aku cintai.

Lalu, dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat ia bergandengan tangan dengan wanita yang aku kenal. Sakit sekali hatiku. Diriku dikuasai oleh amarah, sedang aku tak mampu mengendalikannya. Dari hari ke hari, aku semakin sering melihat mereka berduaan.

Mati-matianaku menahan amarahku hingga seisi rumah kini begitu mencekam dengan aku yang membisu karena aku yakin, jika keluar kata-kataku, aku tak tahu akan seperti apa jadinya rumah kami yang begitu teduh sebelumnya.

Hari terus berjalan, sikapnya semakin dingin kepadaku. Ia juga semakin sering membentakku. Aku tak kuasa lagi. Aku ungkapkan segala yang ku pendam. Rasa sakit dan air mata keluar bersamaan dengan kata-kataku. Tak kusangka, ia justru membalas kata-kataku dengan nada yang semakin meninggi. Entah bagaimana anak-anakku mendengan teriakan-teriakan kami, yang jelas hatiku begitu sakit.

Puncaknya, ketika kami mau berangkat mengambil rapot Noura di sekolahannya, wanita itu berdiri di depan rumah kami. Aku yang langsung dikuasai amarahku tak mampu mengendalikan diriku. Langsung aku usir dia dari hadapanku, suamiku justru membelanya. Kami bertengkar hebat. Adu mulut tak terelakkan lagi. Hingga, suaraku dibungkam dengan tamparannya yang telak mengenai pipiku. Air mataku seolah habis bersama tamparannya.

Beberapa detik kemudian, seseorang membuka pintu. Itu Noura. Ia nampak begitu kecewa, ia banting raport yang ia genggam setelah bilang kalau dia rangking satu namun orang tuanya tak datang, lalu membanting pintu kamar kemudian masuk kedalamnya.

Aku sudah lelah, aku minta cerai. Ia dengan mudah menyetujuinya. Aku pikir, ia memang menantikan saat seperti ini. Berpisah denganku, kemudian menuju dunianya yang lebih sempurna.

Aku melanjutkan hidup hanya bersama ketiga anakku setelah Noura juga memutuskan tinggal bersamaku. Karena kebutuhan hidup semakin banyak sedangkan aku sendirian, aku kembali bekerja setelah mendapat tawaran dari teman SMA-ku. Bukan lagi menjadi penjahit karena aku rasa bayaran yang aku terima tidak mencukupi, melaikan menjadi buruh pabrik di kota sebelah. Berangkat pagi-pagi buta lalu kembali pulang ketika matahari akan tenggelam. Setiap hari seperti itu demi melanjutkan hidup kami.

Ketika Bintang Kehilangan CahayanyaNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ