20. as we know

57 8 0
                                    

Selama dua hari aku mendiami Jong In, aku selalu menganggapnya tidak ada disekitar ku. Saat bertanya pun aku hanya menjawab dengan gumaman seperlunya saja.

Aku ingin menyudahinya sebenarnya, tapi pria itu tidak ada inisiatif untuk meminta maaf lebih dulu. Lagipula kan sedari awal penyebab pertengkaran ini adalah Jong In. Harusnya dia kan yang wajib membujukku dan menyelesaikan masalahnya. Tapi lihatlah, pria itu hanya mengoceh tidak penting dan terus bertanya hal yang sepele.

"Kue nya enak?" Jong In sekali lagi bertanya merujuk pada sepotong kue yang dibelinya sepulang kerja tadi dan sekarang sedang aku makan.

Aku hanya bergumam, menatap lurus pada layar televisi yang tengah menayangkan drama favorit ku akhir-akhir ini.

"Boleh aku minta sedikit?" Lagi-lagi Jong In bertanya, aku tidak menghiraukannya sama sekali.

Kami berdua hanya saling diam, menonton dramanya dengan serius sampai tidak terasa episode hari ini selesai. Aku bermaksud beranjak pergi tapi tiba-tiba Jong In kembali bersuara, membuatku menoleh padanya.

"Apa bisa kita bicara?"

Aku menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan sebelum memilih untuk kembali duduk. Benar, masalahnya tidak akan selesai jika kami tidak saling bicara.

"Terimakasih." Aku bisa merasakan kalau dia tersenyum dari nada bicaranya. Jong In menepuk-nepuk sofa sebelahnya, memintaku untuk mendekat.

"Bicara saja." Ucapku menolak untuk mendekat padanya.

"Baiklah... Tapi, tolong tatap aku. Saat seseorang mengajakmu bicara kau harus menatap mata lawan bicaramu kan?"

Aku menoleh padanya lalu mengangkat kakiku untuk sepenuhnya terduduk di atas sofa dengan kaki bersila. Jong In mengikuti posisiku, menatapku dengan mata bersinarnya.

"Apa kabarmu?" Aku mengerutkan keningku, dia ini bicara apa? Kenapa menanyakan hal  seperti orang yang sudah lama tidak bertemu.

"Apaan sih, bicara yang serius Jong In." Ucapku sedikit ketus.

"Aku sedang serius. Dua hari ini kau mengabaikan ku, makanya aku bertanya begitu. Kau baik-baik saja, kan?"

"Hhh, sudahlahㅡ"

"Aku sudah membereskan skandal-skandal yang beredar, aku juga sudah memberikan peringatan pada Aerin dan agensinya. Semuanya sudah diurus dengan baik." Jong In menjeda membuatku kembali menatapnya. "Sekarang, kau sudah mau maafin aku kan?"

Ah, aku tidak suka perasaan cengeng ini. Kenapa aku harus menangis sih?

"R-rayna.. jangan menangis. Maafkan aku, ya? Aku mohon.." Jong In terlihat khawatir lalu mendekapku kedalam dada bidangnya. "Maafkan aku."

"Aku benci ini..." Gumamku teredam. "Kenapa kau nggak ngajak aku bicara dari kemarin-kemarin. Aku memikirkanmu terus tau."

"Maaf.. lain kali tidak akan terjadi lagi." Ucapnya lembut mengusap kepalaku sayang.

Aku merutuki diriku sendiri, kenapa aku sampai bersikap kekanak-kanakan hanya karena masalah itu yang mana aku sendiri tau kalau skandal kemarin adalah bohong. Tapi aku juga tidak bisa bersikap biasa-biasa saja seolah everything is fine, sedangkan hatiku sendiri seperti kapal pecah. Aku takut kalau akan mengulang kembali Ketahun tahun sebelumnya disaat aku hanya berjuang sendirian tanpa Jong In disisiku seperti sekarang.

"Kenapa sulit sekali menjadi istri seorang Kim Jong In." Ucapku membuat Jong In terkekeh.

"Kau sudah menjadi istri terbaik untukku." Bisiknya semakin erat mendekapku dan terus membetikan usapan lembut dipunggungku.

minus husband _Kim Jong InWhere stories live. Discover now