BAB 22 - Terlampaui

Mulai dari awal
                                    

"Anj***, Pak Harfi!"

"Gawat nih, gimana kalau kita kabur?"

"Ayo! Ayo! Ayo!"

Semua anak basket di sekitar sana juga ikutan panik. Mereka saling berbisik dan melemparkan kata kata yang penuh dengan kekhawatiran. Seperti tak ada lagi yang harus mereka pertahankan. Selain kabur dan menyelesaikan pertandingan yang belum usai.

Romeo langsung spontan melihat tingkah mereka yang aneh. Tiba-tiba lari menuju ke sudut lapangan. Seakan ingin mengambil ransel mereka masing-masing untuk pulang. Ia tak berfikir hal lain lagi. Selain ia diam dan melihati mereka menghilang satu persatu dari hadapannya dan Reva.

"Itu mereka kenapa?" Ucap Reva dengan nada kebingungan.

Romeo masih terdiam dan melihati tingkah laku mereka berbarengan dengan kedatangan Pak Harfi. Entah mereka takut dimarahin atau memang Pak Harfi adalah killer coach sekolah kita. Itu tidak terfikirkan oleh Romeo bahkan Reva. Yang hanya bisa bengong di tengah lapangan.

Romeo yang sempat mengalihkan perhatiannya. Ia memandang ke arah bola yang sedari tadi masih ia anggap berada di atas awan. Ternyata bola itu telah berada di bawah keranjang basket. Dia terkejut dan spontan menutup mulutnya. Melihati keadaan yang telah usai sebelum ia menjadi sanksi mata sesungguhnya. Reva mengikuti arah pandangan Romeo. Ia bingung melihati sikap Romeo yang tiba-tiba berubah. Sambil melihat bola basket yang telah berada di atas tanah lapangan. Itu sempat membuat dirinya bingung.

"Rom, kenapa?"

"Nggak, nggak, nggak. Ini nggak bener! Ini nggak bener!"

"Eh, apanya yang nggak bener bego!"

"Nggak! Nggak! Nggak!"

Romeo yang merasa tertekan. Ia langsung menjatuhkan dirinya ke bawah dengan kasarnya. Ia mengepalkan kedua tangannya dan menegang seketika. Wajahnya yang telah terpasang geram bahkan memerah. Membuat ia ingin meneteskan air mata namun tak sanggup. Ia merasa dirinya lemah seketika. Karena tak tau arah kedatangan bola basket yang ia pantulkan sendiri itu. Ia berfikir negatif seakan tak ada jalan lain yang harus ia lewati. Selain menyerahkan semua hal ini pada tim basket sebagai lawannya.

"Eh, kalian mau kemana?"

Seorang coach basket telah menghentikan langkah para anak ekstrakulikuler basket untuk berhenti sejenak. Bahkan ingin mengembalikan mereka pada posisi awal. Padahal mereka sendiri saja sudah ketakutan tiada kira ketika kedatangan coach Harfin tiba-tiba.

"Ha? Iya coach, ada apa?"

"Loh, kok ada apa sih. Kalian tuh yang ada apa. Itu anak kelas MIPA-kan?"

Semua terdiam, seakan tak ingin menjabarkan apa yang sebenarnya terjadi. Mereka hanya bisa berkumpul dan menundukkan kepala masing-masing. Tanda tak ada yang mau menjawab sekalipun. Dan salah satu teman Gian itu malah menyapukan tangannya dan berbisik. Tentang bagaimana Gian itu harus bertanggungjawab dan menceritakan semuanya. Namun respon anak belagu itu malah seperti ingin menerkam teman sebelahnya. Memelototinya dan membalas sapuan tangannya dengan kencang.

"Kenapa nih senggol-senggolan? Mau nge-dangdut kalian?"

Semua masih terdiam. Bahkan tingkah Gian beserta temannya itu langsung terhenti. Mereka seakan takut kemarahan coach Harfin pada anak basket terulang kembali. Seperti yang telah terjadi beberapa bulan yang lalu. Amarah yang tak bisa diredam. Dan membuat overthinking setiap peserta yang akan mengikuti ajang lomba.

"Bener nih, nggak ada yang mau jawab satupun?" Pinta coach Harfin dengan nada tegas.

Karena sikap mereka yang masih saja kaku dan tegang. Keringat dingin yang berada di sekujur tubuh mereka tak dapat dihentikan. Coach Harfin kini hanya bisa menggelengkan kepalanya. Dan mendekap kedua tangannya menandakan kepercayaan dirinya atas apa yang ia lakukan. Langkahnya kini semakin nyata. Meninggalkan tatapan tajam pada sekumpulan anak basket. Dan sepertinya akan menghampiri Romeo dan Reva.

Romeo and His CrushTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang