Bab 3 - Inilah Diriku

148 69 96
                                    

"Bisa nggak sih, sekali aja nggak nyusahin mama. Mama udah capek dek!" Tegas seorang ibu pada anaknya.

Saat ini di kediaman Romeo yang cukup mewah. Namun sederhana untuk sekedar perekonomian mereka. Romeo duduk di kursi meja makan cukup lama. Hanya mendengarkan nasihat mamanya yang sedari tadi tak bisa memberhentikan bibirnya.

Pantas saja Romeo seperti orang tertindas. Ia malas disuruh hanya untuk membersihkan halaman rumah yang tak sebegitu besar. Dia beralasan karena ada tugas dan harus dikerjakan segera agar tidak lupa. Bagaimana tidak mamanya yang semula sikapnya lembut seperti boneka berubah menjadi sebuah mawar berduri. Marah dan penuh tusukan kepada anaknya. Tusukan positif berupa nasihat.

"Mama nggak pernah menyuruh kamu untuk bersikap malas. Mama nggak pernah membuatmu celaka setiap saat. Dan mama juga nggak pernah memaksa apapun keinginanmu."

Romeo ingin mengelak omongan mamanya itu. Tapi ia takut dikira anak yang durhaka. Tak tau sopan santun bahkan menjadi ejekan semua orang. Karena satu omongan dia yang keluar. Adalah berita sejuta umat di tetangganya. Bukan dari sisi positif, lumayan banyak sisi negatif yang tersebar kemana-mana.

Bukan juga karena Romeo sering berkata kasar. Tapi sikapnya kepada orang tuanya yang terbiasa manja. Dan mungkin kurang mandiri dari penglihatan orang tuanya. Juga kakak tirinya.

"Maaf ma, kalau begitu aku sapu dulu halaman rumahnya. Sapunya dimana?" Tanya Romeo dengan nada bersalah.

Wajahnya seperti sudah tak bisa ditahan lagi. Rasanya sakit dan ingin mengeluarkan air mata. Seperti kebiasaannya selama ini tak ada harganya satupun di mata mamanya.

"Mama! Mama udah pulang?"

Seorang pria tampan datang dari arah luar rumah. Menghampiri meja makan yang kosong karena masih sore.

"Hei! Ya mama tadi izin pulang, soalnya badan mama agak nggak enakan gitu. Kepala mama juga cukup pusing."

"Mangkanya mama istirahat aja gih. Jangan kecapekan, nanti yang ngurusin Laskar siapa?"

"Bisa aja kamu." Sambil mencubit pipi Laskar.

Romeo masih menatap perbincangan dua sejoli itu. Dikenal sebagai kakak tirinya. Romeo bukanlah si paling direndahkan. Tapi ia sering dibeda-bedakan bahkan disangkut pautkan tentang perilakunya dengan kakak tirinya itu.

Laskar terkenal di sekolahnya. Satu sekolah dengan Romeo bukanlah hal yang dia inginkan. Tapi mau gimana lagi, mereka bukannya malah saling melindungi. Tapi malah saling mencaci maki. Seperti tak ada rasa sedikitpun untuk saling menyayangi bak seorang saudara.

Seperti cerita cerita fiksi pada film-film. Saudara tiri dan mama tiri nggak akan pernah menjadi baik. Tetapi Romeo tak pernah memikirkan akan hal itu. Ia fokus belajar, mengejar apa yang ia inginkan sekarang.

"Gini dong anak mama. Baik, sopan, pintar, tampan. Bukannya kayak kamu nih. Malas aja kerjaannya. Bukannya apa-apa ya Romeo. Saya sebagai orang tua kamu selama hampir 5 tahun ini mencoba bersabar sama kamu. Tapi kamunya aja yang nggak pernah ngerti."

"Maaf ma."

Cukup mengenaskan sebagai Romeo. Punya mama dan kakak tiri yang tak pernah memberikannya masukan sekalipun. Hanya cacian dan kebencian semata yang mereka tatap dalam diri Romeo.

Malam telah tiba, dan bintang-bintang mulai bermunculan menunjukkan pesonanya. Tidur di kasur penuh kenyamanan adalah salah satu healing terbaik dalam hidup. Apalagi sambil scroll media sosial yang banyak sekali konten-konten menarik di dalamnya. Menambah ketenangan suasana setelah mencapai hari-hari di ujung tanduk.

CHAT WHATSAPP
+6285... : Halo, Romeo? (Pesan Baru)
Mily : Sudahlah lupakan
...

Romeo yang sedari tadi rebahan santai malah terkejut dan langsung mengambil posisi duduknya. Ia kaget setelah melihat pesan singkat dari nomor tidak dikenal. Tapi ia juga penasaran, siapa orang caper yang sengaja mencari nomor handphone nya hanya untuk sekedar sapa.

Romeo and His CrushTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang