BAB 11 - Kecewa Itu Berat

56 35 37
                                    

Mereka seperti tengah dieksekusi kejam. Oleh seorang wanita dewasa yang kerap mengetahui keberadaan mereka secara diam-diam. Bukan untuk mencela ataupun memaki mereka tanpa bukti. Wanita ini memberikan arahan agar kejadian ini tidak terulang lagi pada remaja seusia mereka.

Di kursi penunggu dekat toilet. Mereka semua duduk dengan tenang dan rapi. Menatap wajah wanita itu dengan rasa takut dan bersalah. Wanita itu masih melihat mereka dengan tenang. Berharap akan ada kesan istimewa setelah ucapan dari mulutnya tersampaikan kepada mereka.

"Ya saya tau mungkin kamu nggak sengaja melakukan hal ini. Tapi kamu juga perlu ingat. Kamu tidak sendiri di dalam sana."

Anggukan Romeo merespon ucapan wanita itu. Seolah menuruti semua perkataan singkat itu padanya. Karena ia juga tidak mau semua orang bisa tau kejadian tak disengaja ini terjadi.

"Jadi lain kali kalau merasa tergesa-gesa. Tenangin diri kamu dan fokus pada apa yang ada di depanmu. Salah langkah saja bisa membuatmu hampir celaka bukan?"

"Iya kak, makasih ya atas nasehatnya." Respon Romeo merasa bersalah atas dirinya sendiri.

Wanita itu masih tersenyum melihat wajah Tasya dan Romeo seperti ini. Mungkin dia mengingat kejadian masa lalunya waktu remaja. Atau mungkin dia teringat akan anak-anaknya yang kini tumbuh remaja.

Dengan salam pamit dari wanita itu. Ia juga memperkenalkan dirinya pada mereka. Agar mereka juga bisa lebih akrab dengannya. Kesannya seperti orang tua dan anaklah.

"Sama-sama, lain kali jangan diulangi lagi ya. Saya mau pamit pulang dulu. Sepertinya saya sudah ditunggu suami saya. Oh iya perkenalkan juga nama saya Ibu Marinda. Kalian bisa panggil kak kok." Ucapnya sambil tertawa singkat.

Romeo dan Tasya langsung tersipu malu. Melihat penjelasan dari wanita bernama Marinda ini. Seolah mereka juga merasa bersalah telah memanggilnya dengan sebutan kakak. Ternyata dia lebih tua daripada yang mereka kira.

Tasya yang sempat merasa ragu. Mengulurkan tangannya tanda respon perkenalan antara kedua belah pihak. Romeo masih diam dan bengong melihat kondisi dihadapannya saat ini.

"Salam kenal bu Marinda. Saya Tasya dan dia Romeo. Teman baik saya."

Diikuti tepukan pundak Tasya pada Romeo yang masih bengong. Menyadarkan dirinya agar tak terlarut terlalu dalam dengan haluannya.

"Oh iya, iya saya teman baiknya."

Setelah jabatan tangan ini terselesaikan. Lalu Bu Marinda berdiri dan melambaikan tangannya tanda pamit pergi kepada mereka. Sebagai salam perpisahan terakhir. Yang kemungkinan besar mereka tak akan pernah berjumpa kembali. Tidak tau jika takdir Tuhan akan mempertemukan mereka lagi di suasana yang lebih positif.

Mereka berdua pergi meninggalkan tempat itu. Menyusuri koridor rumah sakit yang nampak sunyi. Berjalan pelan sambil membuka obrolan yang masih sama. Bertanya akan hal mengapa mereka berada di tempat ini. Karena tadi Romeo tergesa-gesa untuk kencing kembali. Sehingga ia belum merespon Tasya dengan jelas dan pasti.

"Oh iya Rom, kamu ngapain disini? Kamukan belum jawab pertanyaan aku."

Tasya langsung mengalihkan pandangannya kepada Romeo. Berharap akan ada jawaban singkat dari mulutnya. Memastikan Romeo baik-baik saja di rumah sakit ini. Tanpa ada kendala apapun.

"Ehm...aku itu apa namanya ambil obat ayah. Ya, ambil obat ayah."

"Obat? Memangnya ayah kamu sakit apa?"

Jantung Romeo langsung kacau seketika. Menundukkan wajahnya seolah tak siap menjawab pertanyaan selanjutnya. Yang dilontarkan Tasya tiba-tiba pada dirinya. Ia membenarkan kacamatanya seolah tak mampu menjawab pertanyaan sederhana itu.

Romeo and His CrushTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang