Kelas Ketujuh Belas; Aprie Membaik?

1 0 0
                                    

Pukul 16.00.

       Hari itu, tidak ada satu pun murid yang kembali ke asrama. Mereka berkumpul dalam aula. Begitu pun dengan para Pengajar dan Petinggi Hevn.

      Sejak pagi, Hevn telah disibukkan dengan banyaknya orang luar yang keluar masuk dalam Sekolah Hevn. Mulai dari keluarga Regen dan Zain, Dinas Pendidikan bersama aparat berwajib.

       Dalam aula, Kepala sekolah berdiri di tengah podium. Menghadap kepada semua murid Hevn. Di samping kiri dan kanan Kepala sekolah, ada Tn. Nelson dan Pak Busan serta para pengajar lain.

       “Tidak ada yang tahu apa sebenarnya yang terjadi di sekolah ini. Kenapa masalah seperti ini bisa terjadi berturut-turut di tengah kondisi sekolah yang mulai memasuki tahap perubahan,” Kepala sekolah mulai berpidato. “Sesuai perkataan saksi mata, Regen dan Zain terlibat perkelahian yang berakibat merenggut nyawa mereka.”

       “Di dunia ini, tidak semua yang kita harapkan dapat berjalan sesuai rencana. Tidak semua yang kita inginkan dapat terjadi. Tapi, selama kita masih punya waktu, maka kita dapat merubah hal tersebut menjadi lebih baik. Dan, pikirkan apa yang akan kalian lakukan dengan sungguh-sungguh. Agar kalian tidak menyesal dengan apa yang pernah kalian lakukan. Karena penyesalan itu, akan memakan habis waktumu sampai kamu tidak tahu apa yang seharusnya kamu lakukan. Bahkan bisa melakukan hal bodoh yang kamu anggap itu berguna,” nasehat Kepala sekolah, “baiklah. Ada hal yang harus kami sampaikan kepada-” belum sempat Kepala sekolah melanjutkan kalimatnya, pintu aula dibuka tiba-tiba.

       “Kepala sekolah? Tuan Nelson?!!”

        Terdengar suara nyaring yang mengganggu pertemuan sore itu.

       “Hasan?”

       Orang yang membuka pintu aula dengan terburu-buru adalah Hasan. Wajahnya terlihat panik. Sepertinya dia berlari dari ruang kesehatan sampai aula sekolah.

       “Ada apa?” tanya Tuan Nelson.

       “Aprie. Kondisi Aprie berubah,” jawab Hasan bersemangat. “Sepertinya, dia akan segera sadar,” sambungnya sambil berusaha mengatur nafas. Mendengar hal itu, semua murid bersorak gembira. Tapi, tidak untuk Kepala sekolah dan Tn. Nelson. Mereka bergeming. Tidak ada ekspresi apa pun di wajah mereka.

       “Baiklah. Pertemuan kali ini, cukup sampai disini. Silahkan kembali ke asrama!” perintah Kepala sekolah. “Dan, jangan ada yang berkunjung ke ruang kesehatan sampai Tuan Nelson memastikan kondisi Aprie,” tegas Kepala sekolah. Mendengar hal itu, para murid menjadi lemas.

       “Baiklah, Kepala sekolah. Saya akan memeriksa kondisi Aprie,” pamit Tuan Nelson kemudian meninggalkan aula bersama dengan Hasan. Langkah mereka agak cepat.

Pukul 20.25.

       Para murid Hevn sedang beristirahat di kamar mereka masing-masing setelah selesai makan malam. Mungkin karena kejadian yang tidak diharapkan terjadi berulang-ulang membuat tubuh dan pikiran mereka lelah. Tapi, tidak semua. Masih ada satu kamar yang terjaga.

       “Kenapa Hasan lama sekali, sih?” tanya Denny sambil berjalan mondar-mandir. Dia memegang kamera di tangannya.

       “Apa kamu tidak bisa diam?” protes Syam yang duduk santai diatas kasur. Dengan kedua kaki terjulur. Posisi santai yang paling dia sukai.

       “Memangnya aku mengganggumu?!” ketus Denny. Dan tetap melanjutkan langkahnya yang mondar-mandir.

       “Apa sebenarnya yang kalian lakukan disini?” celetuk Odei dan Eysa. Keduanya terlihat seperti tertindas yang duduk merapat di ranjang tingkat dua.

The WitnessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang