Kelas Kelima Belas ; Kematian Beruntun

0 0 0
                                    

Murid-murid yang berada di kebun sekolah, yang menyaksikan langsung jatuhnya Regen dari atap gedung akademik, bergeming. Gunting rumput, keranjang buah, dan rumput yang telah mereka kumpulkan jatuh dari tangan mereka.

Di atas atap gedung akademik, Zain sangat terguncang. Wajah nya pucat memperhatikan tubuh Regen yang jatuh tergeletak dibawah. Tanpa sadar, air mata mengalir di wajahnya. Zain berbalik. Di pintu menuju atap sekolah, sosok Kepala sekolah sudah tidak ada.

Zain berlari sekuat tenaga. Tanpa mengurangi kecepatannya, dia terus berlari menuruni tangga yang ada di gedung akademik. Berharap dapat segera menolong Regen. Walaupun hal itu sudah tidak berguna.

“Regen…bertahanlah,” gumam Zain berkali-kali sambil terus berlari menuruni anak tangga.

Tanpa ia sadari, Kepala sekolah masih berada di atap sekolah. Bersembunyi dibalik pintu. Dia mengambil telephone genggam di balik saku jasnya. Kemudian melakukan panggilan.

“Bereskan sisanya,” katanya memerintah seseorang.

Zain masih berlari. Tergesa-gesa menuruni anak tangga. Sesekali dia menyeka airmata yang membasahi wajahnya. Zain berlari lagi. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti. Dia terjatuh, karena menabrak seseorang yang lebih besar darinya.

“Apa yang kamu lakukan? Apa kamu mau menjadi korban kedua?”

“Tn. Nelson,” kata Zain melihat orang yang ditabraknya. Dengan segera dia bangkit. “Tn. Nelson! Regen jatuh dari atap! Kita harus segera menolongnya!” katanya terburu-buru. Ketika dia ingin pergi, Tn. Nelson menahannya.

“Tenanglah. Sudah ada yang mengurusnya.”

“Benarkah?”

Tn. Nelson mengangguk.

“Bagaimana kondisinya? Apa dia baik-baik saja?!”

“Dia akan baik-baik saja.”

Mendengar hal itu, Zain menarik nafas panjang.

“Tapi…kenapa dia bisa jatuh dari atap? Apa kamu mendorongnya?” tanya Tn. Nelson menyelidiki.

“Ti-tidak! Aku tidak melakukannya. Kami memang bertengkar. Tapi…”

“Tapi?” ulang Tn. Nelson. Zain terlihat gugup. Seperti menyembunyikan sesuatu. Melihat hal itu, Tn. Nelson tersenyum. Entah apa maksud dari senyumnya. “Jika kamu tidak ingin mengatakannya disini, kita bisa pindah ke tempat lain.” Zain langsung menatap Tn. Nelson. Tanpa mendengar jawaban dari Zain, Tn. Nelson langsung beranjak. Dengan segera, Zain mengikuti langkah Tn. Nelson. Dia terlihat gugup. Sesekali menoleh kekanan dan kekiri. Mencari tahu, kemana Tn. Nelson akan membawanya.

Zain memperhatikan Tn. Nelson. Ada hal aneh yang ditangkapnya. Dan ini pertama kalinya dia melihat Tn. Nelson menggunakannya. Sarung tangan berwarna hitam menutupi kedua tangannya. Zain tidak tahu kenapa Tn. Nelson menggunakan sarung tangan itu. Pikirannya yang kacau balau, membuat dia tidak bisa berpikir jernih. Bahkan dengan taat mengikuti kemana Tn. Nelson membawanya.

“Silahkan,” kata Tn. Nelson mempersilahkan Zain masuk ke dalam suatu ruangan.

“Gudang?”

“Ya. Disini, tidak akan ada yang mendengar apa yang ingin kamu katakan. Masuklah,” jawab Tn. Nelson. Dengan perasaan takut, Zain masuk ke dalam gudang sekolah.
Dalam bangunan akademik, terdapat sebuah gudang disetiap lantai. Gudang tersebut digunakan untuk menyimpan alat-alat kebersihan dan barang-barang yang belum digunakan.

“Apa yang ingin kamu bicarakan?” tanya Tn. Nelson ketika telah berada dalam gudang tersebut. Tak lupa, dia menutup dan mengunci pintu gudang tersebut. Zain agak aneh melihat hal itu. Kemudian, Tn. Nelson berdiri tepat di depan pintu, menghadap kearah Zain.

The WitnessWhere stories live. Discover now