Kelas Kedelapan ; Laporan Karya Ilmiah

0 0 0
                                    

Pukul 10 malam. Sebagian murid sekolah Hevn sudah ada yang masuk dalam dunia mimpi. Asrama Hevn mulai terasa tenang. Yang awalnya seperti medan perang, sekarang seolah menjadi kawasan pemakaman. Tenang, damai dan gelap.
Namun, tidak semua murid Hevn yang tertidur lelap. Masih ada beberapa murid yang masih terjaga. Sebagian dari mereka adalah ketiga murid transfer yang dikenal oleh Near. Aprie, Regen, dan Zain.

Dalam kamar dengan fasilitas tiga tempat tidur, Aprie, Regen dan Zain bersiap-siap untuk tidur. Aprie dan Zain satu tempat tidur dengan model ranjang bertingkat. Aprie dibagian atas dan Zain dibagian bawah. Sedang tempat tidur Regen, terpisah dari keduanya.

“Hey! Kalian sudah tidur?” panggil Aprie tiba-tiba. Dia menoleh ke bawah. Kearah Zain dan Regen.

“Ada apa lagi, Aprie?” jawab Regen yang ternyata belum tidur. Dia masih merapikan selimutnya. “Jangan bilang kamu tidak bisa tidur karena memikirkan hari transfer?” sambungnya. Regen adalah murid yang paling pintar diantara mereka bertiga. Dan juga, dia-lah murid yang fotonya diiris dengan pisau oleh Ny. Nakra.

“Bukan itu.”

“Lalu apa? Tidak bisa tidur karena merasa istimewa?” sahut Zain.

“Bu-kan!” balas Aprie. “Apa kalian tidak merasa ada yang aneh dengan Kepala sekolah saat memberikan kita trophy?”
Regen dan Zain saling berpandangan. Bingung. Kemudian menggeleng.

“Kurasa kepala sekolah selalu terlihat aneh. Bukan hanya saat memberikan kita trophy,” jawab Regen. Dia menarik selimutnya menutupi seluruh tubuhnya kecuali bagian kepala. “Baiklah, Aprie. Aku lelah. Aku mau tidur,” tambahnya. Regen merebahkan tubuhnya dan membelakangi Aprie.

“Aku serius. Aku merasa pernah bertemu dengan Kepala sekolah. Tapi dimana ya?”

“Kau ini mimpi, ya?!” sahut Zain. “Tentu saja kamu pernah bertemu dengannya. Dia kan Kepala sekolah kita!”

“Bukan itu maksudku.” Aprie masih mengelak. “Maksudku-"

“Sudahlah, Aprie. Aku mau tidur. Besok kita harus bangun pagi. Aku tak ingin bangun kesiangan hanya karena meladeni perasaan anehmu,” potong Zain. Kemudian menarik selimut sampai menutupi seluruh tubuhnya. Termasuk kepalanya.
Aprie merasa kesal karena tidak ada yang mempedulikannya. Dia berbaring menatap langit-langit kamar.

“Aku yakin aku pernah bertemu kepala sekolah sebelum ini. Tapi, aku lupa dimana.” Dia menggaruk rambutnya. “Kenapa aku bisa selupa ini, sih?”

Ditempat lain di sekolah Hevn. Tepatnya di kantor sekolah Hevn. Masih ada beberapa atasan yang masih terjaga. Selain keamanan, masih ada tiga atasan yang selalu berada di sekolah bahkan saat malam hari. Pertama, Pak Busan. Karena rumahnya tidak terlalu jauh dari sekolah Hevn, jadi bisa bolak-balik kapan pun dia inginkan. Kedua, Tn. Nelson. Kediaman Tn. Nelson memang bukan di sekolah Hevn. Tapi, dia selalu memiliki urusan yang diurusnya sampai malam hari. Bahkan, hampir setiap malam dia selalu berada di sekolah Hevn. Entah apa yang diurusnya. Karena selain sebagai wakil kepala sekolah, beliau pun seorang dokter. Kemudian, atasan yang juga selalu berada di sekolah Hevn adalah Ny. Nakra, Kepala sekolah Hevn. Karena rumahnya memang di dalam sekolah Hevn. Tepatnya di lantai dasar kantor sekolah Hevn.

Dalam ruang kepala sekolah. Cahayanya remang-remang. Hanya satu bola lampu yang masih dibiarkan menyala.

  “Apa rencana anda selanjutnya?” Suara yang setengah berbisik itu berasal dari wakil kepala sekolah, Tn. Nelson. “Waktunya semakin dekat, dan target kita sudah mendekati akhir.” Sambung Tn. Nelson yang berdiri di depan meja kepala sekolah.

Kepala sekolah yang awalnya duduk, bangkit dari kursinya. Dia sempat mengambil sebuah strawberry yang terhidang di mejanya. Dia bergerak kearah jendela yang jaraknya tidak jauh dari meja kerja.

The WitnessNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ